Thursday, June 19, 2014

At-Tauhid: Ramadhan Bersama Siapa?



Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda, “Hari puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, idul fitri adalah hari ketika orang-orang berbuka, dan Idul Adha adalah hari ketika orang-orang menyembelih”. (HR. Tirmidz; 632, Ad Daruquthni; 385).
            Dalam lafas yang lain; “Kalian berpuasa ketika kalian semuanya berpuasa, dan kalian berbuka ketika kalian semua berbuka”. (HR. Ad Daruquthni; 385, Ishaq bin Rahawih dalam Musnad; 238)
Derajat Hadis
            At Tirmidzi berkata; “Hadis ini hasan Gharib”. An Nawawi berkata; “Sanad hadis ini hasan”. (Al Majmu, 6/283). Syaikh Al Albani berkata; “Sanad Hadis ini jayyid”. (Silsilah Ahadis Shahihah, 1/440).
Faidah Hadis
            Pertama; puasa dan lebaran bersama pemerintah dan mayoritas orang setempat. At Tirmidzi setelah membawakan hadis ini ia berkata; “Hadis ini hasan gharib, sebagian ulama menafsirkan hadis ini, mereka berkata bahwa maknanya adlah puasa dan berlebaran itu bersama Al-Jama’ah dan mayoritas manusia”.
            Ash Shan’ani berkata; “Haids ini dalil bahwa penetapan hari raya itu mengikuti mayoritas manusia. Orang yang melihat ru’yah sendirian wajib mengikuti orang lain dan mengikuti penetapan mereka dalam shalat ied, lebaran dan idul adha”. (Subulus Salam 2/72, dinukil dari Silsilah Ash Shahihah 1/443).
            Al Munawi mengatakan: “Makna hadis ini, puasa dan berlebaran itu bersama Al-Jama’ah dan mayoritas manusia”. (At Taisiir syarh Al Jami’ Ash Shaghir, 2/106). Syaikh Al Albani menjelaskan, bahwa makna ini juga dikuatkan oleh hadis Aisyah, ketika Maruq (seorang tabi’in) menyarankan beliau untuk tidak berpuasa Arafah tanggal 9 Dzulhijjah karena khawatir hari tersebut adalah tanggal 10 Dzulhijjah yang terlarang untuk berpuasa. Lalu Aisyah menjelaskan kepada Masruq bahwa yang benar adalah mengikuti Al-Jama’ah. Aisyah radhiallahu anha berdalil dengan hadis; “An Nahr (Idul Adha) adalah hari ketika orang-orang menyembelih dan Idul  Fitri adalah hari ketika orang-orang berhari raya”. (Lihat Silsilah Ahadis shahihiah 1/444).
            Perlu diketahui, bahwa istilah Al Jama’ah maknanya adlah umat islam yang berkumpul bersama ulama dan penguasa muslim yang sah, mereka yang senantiasa meneladani ajaran Nabi shallallahau alaihi wasallam dengan pemahaman para sahabat Nabi. Maka mengikuti AL Jama’ah dalam hal penentuan Ramadhan dan Hari Raya adalah mengikuti keputusan pemerintah muslim yang sah yang berkumpul bersama para ulamanya yang diputuskan melalui metode-metode yang sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam.
            Hal ini juga dalam rangka mengikuti firman ALLAH Ta’ala yang artinya, “Taatlah kepada ALLAH dan Taatlah kepada Rasul-NYA serta ulil amri kalian”. (QS. An Nisa; 59). Memang bisa jadi imam atau pemerintah berbuat kesalahan dalam penetapan waktu puasa, semisal melihat hilal yang salah, atau menolak persaksian yang adil dan banyak, atau juga menerima persaksian yang sebenarnya salah, atau kesalahan-kesalahan lain yang mungkin terjadi. Namun yang dibebankan kepada kita sebagai rakyat dalam hal ini adalah sekadar ta’at dan menasehati dengan baik jika ada kesalahan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Dengar dan taatlah kepada penguasa karena yang jadi tanggungan kalian adalah yang wajib bagi kalian, dan yang jadi tanggungan mereka adalah yang wajib bagi mereka”. (HR. Muslim)
            Kedua; urusan penetapan waktu puasa dan lebaran adlah urusan pemerintah. As Sindi menjelaskan, “Nampak dari hadis ini bahwa urusan waktu puasa, lebaran dan idul adha, bukanlah urusan masing-masing individu, dan tidak boleh bersendiri dalam hal ini. Namun ini adalah urusal imam (Pemerintah) dan al Jama’ah. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk tunduk kepada imam dan al Jama’ah dalam urusan ini. Dari hadis ini juga, jika seseorang melihat hilal namun, pemerintah menolak persaksiannya, maka hendaknya orang itu tidak menetapkan sesuatu bagi dirinya sendiri, melainkan hendaknya mengikuti al Jama’ah”, (Hasyiah An Sindi, 1/509)
            Hal ini juga didukung oleh dalil yang lain yang menunjukkan bahwa urusan penetapan puasa dan lebaran adalah urusan pemerintah. Sebagaimana yang dipratekan di zaman Nabi. Sahabat Ibnu umar berkata; “Orang-orang melihat hilal, maka aku kabarkan kepada Rasulullah shallalllahu alaihi wasallam bahwa aku melihatnya. Lalu beliau memerintahkan orang-orang untuk berpuasa”. (HR. Abu Daud).
            “Ada seorang sambil menunggang kendaraan datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam ia bersaksi bahwa telah melihat hilal di sore hari. Lalu Nabi memerintahkan orang-orang untuk berbuka dan memerintahkan besok paginya berangkat ke lapangan”. (HR. At Tirmidzi dan Abi Daud)
            Hadis Ibnu Umar diatas menunjukkan bahwa urusan penetapan puasa diserahkan kepada pemerintahkan bukan diserahkan kepada masing-masing individu atau kelompok masyarakat.
            Ketiga; persatuan umat lebih diutamakan daripada pendapat individu atau kelompok. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menuturkan; ketentuan seperti inilah yang layak bagi syariat ii yang salah satu tujuannya adalah persatuan umat dan bersatunya mereka dalam satu barisan, serta menjauhkan segala usaha untuk memecah belah umat dengan adanya pendapat-pendapat individu. Pendapat-pendapat individu (walaupun dianggap benar), dalam perkara ibadah jama’iyyah seperti puasa, shalat jama’ah, pendapat-pendapat itu tidak teranggap dalam syariat.
            Tidaklah anda lihat para sahabt Nabi bermakmum kepada sahabat yang lain? Padahal diantara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, keluar darah adalah pembatal wudhu sedangkan sebagiannya tidak berpendapat sedemikian. sebagian mereka ada yang shalat dengan rakaat sempurna ketika safar, dan ada yang mengqashar. Namun ikhtilaf ini tidak membuat mereka enggan bersatu dalam satu shaf shalat dan menjadi makmum bagi yang lain dan tetap menganggap shalatnya sah. Itu karena mereka mengetahui bahwa berpecah belah dalam masalah agama itu lebih buruk daripada kita menyelisihi sebagian pendapat.
            Pernah terjadi diantara mereka, sebuah kasus adanya sahabat yang enggan mengikuti pendapat imam yang berkuasa dalam sebuah masyarakat yang besar di Mina. Bahkan sampai ia enggan beramal dengan pendapat sang imam secara mutlak karena khawatir terjadi keburukan jika beramal sesuai dengan pendapat sang imam. Abu Daud (1/307) meriwayatkan.
            “Utsman bin Affan radhiallahu anhu sholat di Mina empat rakaat. Maka Ibnu Mas’ud pun mengingkari hal ini dan berkata; “Aku pernah sholat bersama Nabi shalallallahu alaihi wasallam dua rakaat (diqashar), bersama Abu Bakar dua rakaat, bersama Umar dua rakaat, dan bersama Utsman di awal pemerintahannya, beliau melakukannya dengan sempurna (empat rakaat, tidak diqashar). Setelah itu berbagai jalan (manhaj) telah memecah belah kamu semua. Dan aku ingin sekiranya empat rakaat itu tetap menjadi dua rakaat. Namun setelah itu tetap menjadi dua rakaat. Namun seetelah itu Ibnu Mas’ud shalat empat rakaat. Ada yang bertanya; “Ibnu Mas’ud engkau mengkritik Utsman namun tetap sholat empat rakaat?. Ibnu Mas’ud menjawab; “Perselisihan itu buruk”. Sanad hadis ini shahih, diriwayatkan juga oleh Ahmad (5/155).
            Renungkanlah hadis ini dan juga atsar yang kami sebutkan, khususnya bagi orang-orang yang selalu saja berselisih. Terutama dalam shalat witir di bulan Ramadhan, dengan alasan beda madzhab. Sebagian mereka juga ada menyerukan ilmu falak, lalu merreka berlebaran sendiri lebih dahulu atau lebih akhir daripada mayoritas kaum muslimin, karena menggunakan pendapat dan ilmu falak mereka. Dengan sikap acuh tak acuh mereka menyelisih kaum muslimin. Hendaknya mereka ini merenungkan apa yang kami sampaikan, mudah-mudahan mereka bisa memahaminya. Sehingga akhirnya mereka bisa bersatu dalam barisan bersama kaum muslimin yang lain. (Silsilah Ahadis Shahihah, 1/445)
            Keempat; isyarat tentang adanya perselisihan umat dalam masalah penetapan puasa. Hadis diatas juga merupakan isyarat dari Nabi bahwa aka nada orang dan kelompok-kelompok yang menyelisihi petunjuk Nabawi dalam penetuan puasa. Al Mubarakfuri berkata; “Sebagian ulama menafsirkan hadis ini, maknanya adalah kabar bahwa manusia akan terpecah menjadi kelompok-kelompok dan menyelisihi petunjuk Nabawi. Ada kelompok yang menggunakan hisab, ada kelompok yang berpuasa atau berwukuf lebih dulu bahkan mereka menjadikan hal itu syiar kelompok mereka. Namun yang selain mereka adalah mengikuti petunjuk Nabawi, yaitu golongan orang-orang yang zhahir alal haq, merekalah yang didalam hadis diatas disebut an naas, merekalah as sawaadul a’zham, walaupun jumlah mereka sedikit”. (Tuhfatul Ahwazi, 3/313).At-Tauhid: Ramadhan Bersama Siapa?

No comments:

Post a Comment