Tuesday, June 24, 2014

At Tauhid: Mengenal Hakikat Ibadah






            Secara bahasa ibadah bermakna perendahan diri dan ketundukan (lihat Fath al Majid, hal.17). Oleh sebab itu orang arab menyebut jalan yang biasa dilalui orang dengan istilah thariq mu’abbad (lihat Tafsir Al-Quran al azhim, 1/34). Yaitu jalan yang telah dihinakan, karena telah banyyak diinjak-injak oleh telapak kaki manusia (lihat al-irsyad ila shahih al-I’tiqad, hal. 34). Sehingga, ibadah bisa diartikan dengan perendahan diri, ketundukan dan kepatuhan (lihat at-tanbihat al-mukhtasharah syarh al-wajibat, hal.28)
            Secara terminology, ada beberapa definisi yang diberikan oleh para ulama tentang makna ibadah, yang pada hakikatnya semua definisi itu saling melengkapi. Diantaranya mereka menjelaskan bahwa ibadah adalah ketaatan kepada ALLAH dengan melaksanaka perintah-perintah-NYA yang disampaikan melalui lisan para rasul-NYA (lihat fath al-majid syarh kitab at-tauhid, hal. 17). Syaikh as-sadi juga menerangkan bahwa ibadah itu mencakup ketundukan dalam melaksanakan perintah ALLAH dan menjauhi segala larangan-larangan ALLAH, serta membenarkan berita yang dikabarkan-NYA (lihat Taisir al-karim ar-rahman, hal.45)
            Ibnu Juraij mengatakan bahwa ibadah kepada ALLAH artinya adalah mengenal ALLAH (lihat tafsir al-quran al-azhim, 7/327). Yang dimaksudkan adalah mengenal ALLAH dengan mentauhidkan ALLAH. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat tentang perintah Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada Mu’adz sebelum keberangkatannya ke Yaman. Beliau bersabda, “Hendaklah yang pertama kali kamu ajak kepada mereka adalah supaya mereka beribadah kepada ALLAH azza wa jalla, kemudian apabila mereka sudah mengenal ALLAH…”(HR. Bukhari dan Muslim)
            Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa ibadah adalah puncak perendahan diri yang dibarengi dengan puncak kecintaan. Imam Ibnu Katsir berkata, “Menurut pengertian syari’at, ibadah itu adalah suatu ungkapan yang memadukan antara kesempurnaan rasa cinta, ketundukan dan rasa takut” (Tafsir al-quran al-azhim, 1/34). Syaikh Shalih al-fauzan berkata, “Sebagian ulama mendefinisikan ibadah sebagai kesempurnaan rasa cinta yang disertai kesempurnaan sikap tunduk.”(lihat al-irsyad ila shahih al-I’tiqad, 34).
            Syaikh shalih al-fauzan menegaskan, “Ibadah yang diperintahkan itu harus mengandung unsur perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini mengandung tiga pilar; cinta, harap dan takut. Ketiga unsure ini harus berpadu. Barang siapa yang hanya bergantung kepada salah satu unsure saja maka dia belum dianggap beribadah kepada ALLAH dengan sebenarnya.”(al-irsyad ila shahih al-I’tiqad, 35)
            Ibadah juga diartikan dengan tauhid. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang dibawakan oleh imam Ibnu Katsir dari Ibnu Abbas mengenai maksud firman ALLAH yang artinya, “Wahai umat manusia beribadahlah kepada Rabb kalian.”(QS. Al-Baqarah; 21). Beliau menjelaskan, “Artinya tauhidkanlah Rabb kalian…”(tafsir al-quran al-azhim, 1/75). Didalam kitabnya al-ubudiyah (lihat al-ubudiyah,6), syaikh Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai ALLAH, berupa perkataan atau perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi (lihat mawa’izh syaikhul islam ibnu taimiyah). Dari sini, maka ibadah itu mencakup perkara hati/batin dan juga perkara lahiriyah. Sehingga seluruh ajaran agama itu telah tercakup dalam istilah ibadah (lihat al-irsyad ila shahih al-I’tiqad, 34)
            Syaikh Muhammad bin shalih al-utsaimin menerangka di dalam syarh tsalatsat al-ushul (lihat syarh Tsalatsat al-ushul, 23) bahwa pengertian ibadah bisa dirangkum sebagai berikut; suatu bentuk perendahan diri kepada ALLAH yang dilandasi dengan rasa cinta dan pengagungan dengan cara melaksanakan perintahNYA dan menjauhi segala laranganNYA, sebagaimana yang dituntunkan dalam syariatNYA.
            Dari pengertian-pengertian diatas paling tidak kita dapat menarik satu kesimpulan penting bahwa seesungguhnya ibadah itu ditegakkan diatas rasa cinta dan pengagungan. Rasa cinta akan melahirkan harapan dan tunduk kepada perintahNYA sedangkan pengagungan akan menumbuhkan rasa takut dan mematuhi laranganNYA. Selain itu, kita juga bisa mengerti bahwa pelaksana ibadah tidak bisa dilakukan secara sembarangan, namun haris mengikuti tuntunan para rasul alaihimush sholatu was salam. Dalam konteks sekarang, maka kita semua harus mengikuti petunjuk dan ajaran Nabi shallallahu alaihi wasallam, nabi dan rasul yang terakhir.
            Ibadah akan menjadi benar dan diterima di sisi ALLAH jika memenuhi 2 syarat; ikhlas dan ittiba (Mazhahiru dha’fil aqidah fi hadzal ash wa thuruqu illajha). Sebagian ulama menambahkan syarat ketiga yaitu aqidah yang benar, sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Zaid bin Hadi al-Madhali dalam abraz al fawa’id syarh arba al-qawaid.
            Ikhlas artinya ibadah itu hanya diperuntukkan kepada ALLAH dan tidak dipersekutukan dengan selain-NYA. Ini merupakan kandungan dari syahadat laa ilaaha illallaah. Lawan dari ikhlas adalah syirik, riya dan sum’ah. Riya adalah beribadah karena ingin dilihat orang, sedangkan sum’ah adalah beribadah karena ingin didengar orang.
            Ittiba’ maksudnya adalah setia dengan tuntunan Nabi shallallahu alaihi wasallam, tidak mereka-reka tata cara ibadah yang tiada ada tuntunannya. Ini merupakan kandungan dari syahadat anna muhammadar rasulullah. Lawan dari ittiba’ adalah ibtida’ yaitu membuat perkara-perkara baru dalam agama (al-bid’ah dhawabithuha wa atsaruha as-sayyi fi al ummah)
            ALLAH Ta’ala berfirman yang artinya, “Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal shalih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabb-nya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi; 10). Imam Ibnu Katsir menerangkan bahwa amal salih ialah amalan yang sesuai dengan syariat ALLAH sedangkan tidak mempersekutukan ALLAH maksudnya adalah amalan yang diniatkan untuk mencari wajah ALLAH, inilah dua rukun amal yang akan diterima di sisi-NYA (lihat tafsir al-quran al-azhim, 5/154) dan al-qaea’id wa al-ushul aj-jami’ah wa al-furuq wa at-taqasim al-badi’ah an-nafiah, hal 40-42)
            Sebagaimana orang tidak ikhlas amalannya tidak diterima, demikianpula orang yang tidak ittiba’ maka amalannya pun tidak diterima. Apalagi orang yang beribadah tanpa keikhlasan dan tanpa ittiba’. Ikhlas jika dikerjakan karena ALLAH sedangkan benar jika dikerjakan dengan mengikuti sunnah Nabi. Bukan dengan cara-cara yang tidak ada tuntunannya yang merupakan tata cara beragama yang diada-adakan dan menyaingi syariat, dimaksudkan dengan untuk berlebih-lebihan dalam ibadah kepada ALLAH Ta’ala. Hal ini memberikan pelajaran berharga kepada kita bhwa syariat islam ini mengatur niat dan cara. Niat yang baik juga harus diwujudkan dengan cara dan sarana yang baik pula. Islam tidak mengenal kaidah ala yahudi; tujuan menghalalkan segala cara.
            Dengan demikian untuk beribadah dengan baik, seorang muslim harus memadukan antara shihatul fahm (kelurusan pemahaman). Oleh sebab itu Ibnu Qayyim menyatakan bahwa kedua hal shihhatul irodah dan shihhatul fahm merupakan anugerah dan nikmat terbesar yang diberikan ALLAH kepada seorang hamba. Ketulusan niat terwujud di dalam tauhid dan keikhlasan sedangkan kelurusan pemahaman terwujud dalam mengikuti sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam. Sehingga amat wajar jika para ulama sangat menekankan kedua pokok yang agung ini. Sampai-sampai diriwayatkan bahwa imam Ahmad pernah berdoa, “Allahumma ahyinaa alal islam, wa amitnaa alas sunnah.” Artinya; “Ya ALLAH, hidupkanlah kami diatas islam dan matikalah diatas sunnah.”At Tauhid: Mengenal Hakikat Ibadah

No comments:

Post a Comment