Monday, June 24, 2013

At-Tauhid: Mendudukkan Akal Pada Tempatnya



Mendudukkan Akal Pada Tempatnya

            Betapa banyak orang yang mendewakan akal. Setiap perkara selalu dia timbang-timbang dengan akal atau logikanya terlebih dahulu. Walaupun sudah ada nash Al-Quran atau Hadis, namun jika bertentangan dengan logikanya, maka logika lebih dia dahulukan daripada dalil syar’i. inilah yang biasa terjadi pada ahli kalam. Lalu bagaimanakah mendudukkan akal yang sebenarnya? Apakah kita menolak dalil akal begitu saja? Ataukah kita mesti mendudukkan pada tempatnya?.

Sebelum Melangkah Lebih Jauh
            Terlebih dahulu yang kita harus pahami, setiap insane beriman hendaklah bersikap patuh dan tunduk kepada ALLAH dan Rasulullah. Setiap wahyu yaitu Al-Quran dan Hadis itu berasal dari-NYA. Rasul memiliki kewajiban untuk menyampaikan wahyu tersebut. sedangkan kita memiliki kewajiban untuk menerima wahyu tadi secara lahir dan batin.
            ALLAH Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan taatlah kepada ALLAH dan taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat ALLAH) dengaan terang”. (QS. At-Taghabun: 12).
            Az-Zuhri mengatakan, “Wahyu berasal dari ALLAH, Rasul shallallahu alaihi wasallam hanyalah menyampaikan kepada kita. Sedangkan kita diharuskan untuk pasrah (menerima)”. (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitabut Tauhid secara mu’allaq yakni tanpa sanad)
            Oleh karena itu, jika ALLAH dan Rasul-NYA telah menetapkan suatu perkara, maka tidak ada pilihan bagi seorang muslim untuk berpaling kepada selainnya, kepada perkataan ulama A, Kyai B, ustadz C atau pun logikanya sendiri, padahal pendapat mereka telah nyata menyelisihi Al-Quran dan Sunnah(Ajaran) Nabi. ALLAH Ta’ala berfirman yang artinya,”Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pulak bagi perempuan yang mukmin, apabila ALLAH dan Rasul-NYA telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai ALLAH dan Rasul-NYA maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al-Ahzab : 36).
            Ibnul Qayyim mengatakan, “Ayat ini menunjukkan bahwa jika telah ada ketetapan dari ALLAH dan Rasul-NYA dalam setiap masalah baik dalam permasalah hukum atau pun berita seperti permasalahan aqidah, maka seseorang tidak boleh memberikan pilihan selain pada ketetapan ALLAH dan Rasul-NYA tadi lalu dia berpendapat dengannya. Sikap berpaling kepada ketetapan selain ALLAH dan Rasul-NYA sama sekali bukanlah sikap seorang mukmin. Dari sini menunjukkan bahwa sikap semacam ini termasuk menafikan (meniadakan) keimanan”. (Zadul Muhajir Ar- Risalah At Tabukiyah, hal. 25).


Akal Tidak Bisa Berdiri Sendiri
            Walaupun akal bisa digunakan untuk merenungi dan memahami Al-Quran, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Bahkan akal sangat membutuhkan dalil syar’I (Al-Quran dan Hadis) sebagai penerang jalan. Akal itu ibarat mata. Mata memang memiliki potensi untuk melihat suatu benda. Namun tanapa adanya cahaya, mata tidak dapat melihat apa-apa. Apabila ada cahaya, barulah mata bisa melihat benda dengan jelas.
            Jadi itulah akal. Akal barulah bisa berfungsi jika ada cahaya Al-Quran dan Hadis atau dalil syar’i. jika tidak ada cahaya wahyu, akal sangatlah mustahil dan mengetahui sesuatu.
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Bahkan akal adalah syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk beramal dengan baik dan sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan amal. Akan tetapi, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal bisa berfungsi jika dia memiliki instink dan kekuatan sebagaimana penglihatan mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al-Quran barulah akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian tanpa cahaya, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu”. (Majmu Al Fatawa, 3/338-339).
            Intinya, akal bisa berjalan dan berrfungsi jika ditunjiki oleh dalil syar’I yaitu dalil dari Al-Quran dan Sunnah. Tanpa cahaya ini, akal tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya.

Mungkinkah Akal dan Dalil Syar’I Bertentangan
            jika kita sudah mengetahui bahwa akal tidaklah bisa berfungsi kecuali dengan adanya penerang dari Al-Quran dan Sunnah, maka tentu saja akal yang benar tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil syar’i. jika bertentangan, maka akal yang patut diyanyakan dan dalil syar’ilah yang patut dimenangkan. Kita dapat memberikan deskripsi tentang akal dan dalil syar’I sebagai berikut:
            ada seseorang bernama Budi ingin bertanya suatu hal kepada seorang ulama. Akhirnya dia dibantu oleh Ahmad. Ahmad pun menunjukkan Budi pada ulama tersebut. dalam suatu masalah, Ahmad menyelisih pendapat ulama tadi, lalu Ahmad mengatakan pada Budi, “Aku yang telah menunjuki engkau mengambil pendapatku bukan ulama tadi”. Tentu saja Budi akan mengatakan:”Engkau memang telah menunjuki atau menyuruhku untuk mengikuti ulama tadi, namun bukan untuk mengikuti pendapatmu, jika aku mengikuti petunjukmu bahwa ulama tadi adalah tempat untuk bertanya, hal ini bukan setiap aku harus mencocokimu dalam setiap yang engkau katakan. Jika engkau keliru dan menyelisihi ulama tadi padahal dia lebih berilmu darimu, maka kekeliruanmu pada saat ini tidaklah membuat cacat tentang keilmuanmu bahwa dia adalah ulama.
            Ini adalah permisalan dengan seorang ulama yang mungkin saja salah. Lalu bagaimanakah jika pada posisi ulama tersebut adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang tidak mungkin keliru dalam penyampain berita dari ALLAH?

            Dari deskripsi ini, akal dimisalkan dengan si Ahmad yang jadi petunjuk kepada ulama tadi. Sedangkan ulama tersebut adalah permisalan dari dalil syar’I yang dibawa oleh Rasulullah. Inilah sikap yang harus kita miliki tatkala kita menemukan bahwa akal ternyata bertentangan dengan dalil syar’i. Sikap yang benar ketika itu adalah seseorang mendahulukan dalil syar’I daripada logika. Sebagaimna kita mendahulukan ulama tadi dari si Ahmad sebagai petunjuk jalan. Jika dalil syar’I bertentangan dengan akal, maka dalillah yang harus didahulukan. Namun hal ini tidak membuat akal itu cacat karena dia telah menunjuki kepada dalil syar’i.
            Inilah yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu jika akal bertentangan dengan dalil Al-Quran dan Sunnah, maka dalil syar’I lebih harus kita dahulukan dari akal. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika seseorang mengetehui dengan akalnya bahwa ini adalah Rasulullah. Kemudian ada berita dari Rasulullah, namun ternyata berita tersebut menyelisihi akal. Pada saat ini akal harus pasrah dan patuh. Akal harus menyelesaikan permasalah ini dengan menyerahkan pada orang yang lebih tahu darinya yaitu dari berita Rasulullah. Pada saat ini, akal tidak boleh mendahulukan hasil pemikirannya dari berita Rasul. Karena sebagaimana diketahui bahwa akal manusia itu memiliki kekurangan dibandingkan dengan berita Rasul. Nabi shallallahu alaihi wasallam tentu saja lebih mengerti mengenai ALLAH Ta’ala nama dan sifat-sifat-Nya, serta lebih mengetahui tentang berita hari akhir daripada akal”. (Dar-ut Ta’arudh, 1/80).

Akal Tidak Mungkin Bertentangan dengan Dalil Al-Quran dan As Sunnah
            Inilah yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah yaitu dalil akal tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil Al-Quran dan Sunnah yang shaih sama sekali. Maka tidaklah tepat jika seseorang mengatakan bahwa logika (dalil Akal) bertentangan dengan dalil syar’i. Jika ada yang mengatakan demikian, maka hal inni tidaklah lepas dari beberapa kemungkinan:
1.      Itu sebenarnya syubhat (kerancuan) dan bukan logika (dalil akal) yang benar
2.      Dalil syar’i digunakan bukanlah dalil yang bisa diterima, mungkin karena dalilnya tidak shahih atau adanya salah pemahaman.
3.      Hal ini karena tidak mampu membedakan antara sesuatu yang mustahil bagi akal dan sesuatu yang tidak dipahami oleh akal dengan sempurna. Syari’at itu datang minimal dengan dalil yang tidak dipahami oleh akal yang sempurna. Dan syari’at ini mungkin datang dengan dalil yang dianggap mustahil bagi akal.
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Rasul itu datang dengan wahy minimal tidak digapai oleh akal dengan sempurna. Namun beliau tidaklah datang dengan wahyu yang mustahil bagi akal untuk memahaminya”. (Majmu Al-Fatawa, 3/339).
            Semoga kita dapat memahami hal ini.At-Tauhid: Mendudukkan Akal Pada Tempatnya

No comments:

Post a Comment