Thursday, June 27, 2013

At-Tauhid: Ikhlas Karunia Terbesar




Ikhlas Karunia Terbesar

            Ikhlas, amatlah kita perlukan. Karena inilah landasan setiap amalan itu diterima. Berikut beberapa nukilan dari ulama tentang pentingnya ikhlas dalam beramal.

            Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya seseorang akan mendapatkan anugerah balasan dari ALLAH sebatas apa yang dia niatkan”. (Lihat Adab al-Alim wa al-Muta’alim)
            Sahl bin Abdullah at-Tasturi mengatakan, “Orang-orang yang cerdas memandang tentang hakikat ihklas ternyata mereka tidak menemukan kesimpulan kecuali hal ini: hendaklah gerakan dan diam yang dilakukan, yang tersembunyi maupun yang tampak, semuanya dipersembahkan untuk ALLAH Ta’ala semata. Tidak mencampuri apa pun; apakah itu kepentingan pribadi, hawa nafsu, maupun perkara dunia”.(Lihat Adab al-ALim wa al-Muta’alim, hal 7-8)
            Sufyan ats-Tsauri mengatakan, “Tidaklah aku mengobati suatu penyakit yang lebih sulit daripada masalah niatku. Karena ia sering berbolak-balik”.(Lihat Adab al-Alim wa al-Muta’alim, hal 8).
            Abul Qasim al-Qusyairi menjelaskan, “Ikhlas adalah menunggalkan al-Haq(ALLAH) dalam hal niat melakukan ketaatan yaitu dia berniat dengan ketaatannya dalam rangka mendekatkan diri kepada ALLAH Ta’ala. Bukan karena ambisi-ambisi lain, semisal mencari kedudukan di hadapan manusia, mengejar pujian orang-orang, gandrung terhadap sanjungan atau tujuan apapun selain mendekatkan diri kepada ALLAH Ta’ala”.(Lihat Adab al-Alim wa al-Muta’alim, hal. 8)
            Abu Ya’qub as-Susi mengatakan,”Apabila orang-orang telah berani mempersaksikan keikhlasan telah melekat pada dirinya maka sesungguhnya keikhlasan mereka itu masih butuh pada keikhlasan”. (Lihat Adab al-Alim wa al-Muta’alim. Hal, 8)
            Abu Utsman mengatakan,”Ikhlas adalah melupakan pandangan orang dengan senantiasa memperhatikan bagaimana pandangan (Penilaian) Al-Khaliq” (LihaT Adab al-Alim wa al-Muta’alim, hal 8)
            Al-Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’ sedangkan beramal untuk dipersembahkan kepada manusia merupakan kemusyrikan. Adapun ikhlas itu adalah tatkala ALLAH menyelamatkan dirimu dari keduanya”. (Lihat Adab al-Alim wa al-Muta’alim, hal. 8)
            Yusuf bin al-Husain berkata, “Sesuatu yang paling sulit di dunia inni adalah ikhlas”. (Lihat Adab al-ALim wa al-Muta’alim, hal 8). Muhammad bin Wasi berkata, “Sungguh aku telah bertemu dengan orang-orang yang mana seorang lelaki diantara mereka kepalanya berada satu bantal dengan kepala istrinya dan basahlah apa yang berada di bawah pipinya karena tangisannya akan tetapi istrinya tidak menyadari hal itu. Dan sungguh aku telah bertemu dengan orang-orang yang salah seorang diantara mereka berdiri di shaf sholat hingga air matanya mengaliri pipinya sedangkan orang di sampingnya tidak mengetahui”. (Lihat Ta’thirul Anfas, hal 249)
Kerendahan Hati Para Ulama

            Ibnu Abi Mulaikah seorang tabi’in mengatakan, “Aku telah berjumpa dengan tiga puluh orang sahabat Nabi. Mereka semua merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang mengatakan bahwa imannya sebagaimana iman Jibril dan Mika’il”. (HR. Bukhari)
            Ayyub as-Sakhtiyani mengatakan,”Apabila disebutkan tentang orang-orang shalih maka aku merasa diriku teramat jauh dari kedudukan mereka”. (Lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra alaiha, hal. 76 oleh Imam Ibnu Abid Dun-ya)
            Yunus bin Ubaid berkata, “Sungguh aku pernah menghitung-hitung seratus sifat kebaikan dan aku merasa bahwa pada diri ku tidak ada satu pun darinya”. (Lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra alaiha, hal. 80) Muhammad bin Wasi mengatakan, “Kalau seandainya dosa-dosa itu mengeluarkan bau busuk niscaya tidak ada seorang pun yang sanggup untuk duduk bersamaku”. (Lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra alaiha, hal. 82)
            Hisyam ad-Dastuwa’I berkata, “Demi ALLAH, aku tidak mampu untuk berkata bahwa suatu hari aku pernah berangkat untuk menuntut hadis dalam keadaan ikhlas karena mengharap wajah ALLAH azza wa jalla”. (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 254)
Nasehat Para Ulama

            Fudhail bin iyadh berkata,”Dahulu dikatakan; bahwa seorang hamba akan senantiasa berada dalam kebaikan, selama jika dia berkata maka dia berkata karena ALLAH dan apabila dia beramal maka dia pun beramal karena ALLAH”. (Lihat Ta’thir al-anfas min hadis al-ikhlas, hal. 592)
            Seorang lelaki berkata kepada Muhammad bin Nadhr berkata, “Dimanakah aku bisa beribadah kepada ALLAH? Maka beliau menjawab, “Perbaikilah hatimu dan beribadahlah kepada-NYA dimana pun kamu berada”. (Lihat Ta’thir al-anfas, hal.594)
            Abu Turab mengatakan,”Apabila seorang hamba bersikap tulus/jujur dalam amalannya niscaya dia akan bisa merasakan kelezatan amal itu sebelum melakukannya. Dan apabila seorang hamba ikhlas dalam beramal, niscaya dia akan merasakan kelezatan amal itu disaat sedang melakukannya”. (Lihat Ta’thir alanfas, hal. 594)
            Sufyan bin uyainah berkata: Abu hazim berkata, “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu lebih daripada kesungguhanmu dalam menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu”.(Lihat Ta’thirul anfas, hal. 231)
            Ibnul Qoyyim menjelaskan, ada dua buah pertanyaan yang semestinya diajukan kepada diri kita sebelum mengerjakan suatu amalan, yaitu: untuk siapa? Dan bagaimana? Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan. Pertanyaan kedua adlah pertanyaan tentang kesetiaan terhadap tuntunan Rasul. Sebab amal tidak akan diterima jika tidak memenuhi kedua-duanya(Lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 113)
Semoga ALLAH Karuniakan Keikhlasan Kepada Kita….


Dan Batang Pohon Pun Menangis

            Hampir tidak ada pada zaman ini seorang khatib jum’at yang berkhutbah tidak di atas mimbar. Mimbarnya pun bervariasi. Ada yang berbentuk kotak biasa seperti di perkampungan, ada yang beratap seperti di perkotaan, ada yang berbentuk tiga tangga seperti di beberapa pesantren, ada yang yang berbahan kayu nan sederhana seperti di mesjid kecil, ada yang berbahan logam nan mewah seperti di mesjid besar. Lalu, bagaimanakah sejarah seputar mimbar yang dulu dipakai Nabi saat berkhutbah?
Asal Pembuatan Mimbar Nabi

            Sahl bin sa’ad as sa’idi yang termasuk diantara para sahabat yang melihat Nabi pertama kali memakai mimbar bercerita, bahwa Rasulullah mengutus salah seorang sahabat kepada seorang wanita itu memerintahkan budaknya yang ahli pertukangan untuk membuat beliau sebuah mimbar agar dapat berkhutbah dan duduk diatasnya. Budak dari wanita tersebut kemudian membuat mimbar yang terbuat dari kayu thorfa dari kota Ghabat(daerah sekitar Madinah kea rah Syam). Setelah jadi, mimbar tersebut pun kemudian dikirimkan kepada Rasulullah (HR. Bukhari dan Muslim)
Bentuk Mimbar Nabi
            Mimbar Nabi berbentuk tangga biasa bertingkat, dengan tiga anak tangga. Beliau berdiri dan berkhutbah di atas anak tangga kedua dan duduk (diantara dua Khutbah) diatas anak tangga ketiga (HR. Ad-Darimi dalam kitab Sunannya, 1/19 dan Abu Ya’la dalam Kitab Musnad, 1/19)
            Ibnu An-Najjar berkata,”Panjang mimbar Nabi adalah dua hasta satu jengkal dan tiga jari, sedangkan lebarnya satu hasta “.(Akhbaar Madiinatir Rasul, 82) al-Hafizh ibnu Hajar berkata, “Mimbar tersebut tetap dalam keadaan semula, hingga akhirnya di masa Khalifah Muawiyah, gubernur Marwan bin al-Hakam menambah tingkatannya menjadi enam tingkat”. (Fathul Bari, 2:39) . imam Nawawi berkata, “Mimbar Nabi terdiri dari tiga tangga sebagaimana hal ini ditegaskan dalam riwayat Muslim”. (Syarh Muslim, 5: 33)
Dan Pohon Pun Menangis

            Sebelum ada mimbar yang dibuatkan oleh budak dari wanita Anshar tadi, Nabi biasa berkhutbah dengan bersandar pada sebatang pohon. Kemudian datang mimbar baru yang dipesan Nabi kepada seorang wanita Anshar. Tatkala mimbar tersebut diletakkan untuk menggentikan batang pohon yang lama, si pohon pun menangis keras hingga suaranya terdengar seperti unta hamil yang hamper melahirkan. Bahkan Nabi harus turun dari mimbar barunyya lalu meletakkan tangannya di atas pohon tersebut agar ia tenang”. (HR. Bukhari)
Kita Lebih Layak Untuk Menangis

            Hasan Al-Bashri bila membicarakan hadis ini selalu menangis dan berkata, “Wahai hamba-hamba ALLAH, pohon saja merintih seperti unta melahirkan karena cinta dan rindu kepada Nabi yang memiliki kedudukan mulia di sisi ALLAH. Kita sebenarnya lebih layak untuk merindukan pertemuan dengan beliau”. (Riwayat Abu Yala dalam Musnadnya)
            Ya, seandainya sebatang pohon yang tidak mengalami hisab di hari kiamat bisa merasakan cinta dan rindu mendalam pada Nabi kita shallallahu alaihi wa sallam yang mulia, tentunya kita yang banyak melakukan dosa, akan ditimbang amalnya di hari pembalasan, belum ada jaminan untuk bisa masuk surge, jauh lebih membutuhkan rasa cinta dan rindu yang dirasakan pohon tersebut. karena dengan rasa cinta dan rindu itu, serta buktinya yang nyata, maka di akhirat kelak kita akan dikumpulkan bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam surge ALLAH yang disediakan hanya untuk orang-orang beriman dan beramal shalih.
            Semoga ALLAH menganugerahkan kita rasa cinta dan rindu yang besar kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dan sahabatnya serta mengumpulkan kita dengan mereka di tempat mulia, yang kenikmatannya tak pernah terlihat mata, terdengar oleh telinga dan terbesit di jiwa.At-Tauhid: Ikhlas Karunia Terbesar

Wa shallallahu ala Nabiyyir rahmah, wa ala aalihi wa man tabi’ahum bi ihsanin ila yaumil qiyaamah. Walhamdulilaahilladzii laa ilaaha illa huwa, wahdahu laa syariikalah. Laa na’budu illa iyyah. Wa laa haula wa laa quwwata illa billaah.

No comments:

Post a Comment