Friday, June 28, 2013

At-Tauhid: Hakikat Dan Buah Ilmu, Sebuah Rahasia Kejayaan



Hakikat Dan Buah Ilmu, Sebuah Rahasia Kejayaan

            Dari Umar bin khathaab, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya ALLAH akan mengangkat sebagian kaum dengan Kitab ini (Al-Quran), dan akan merendahkan sebagian kaum yang lain dengannya pula”. (HR. Muslim).

            Shofwan bin asal al-muradi berkata: Aku pernah datang menemui Rasulullah, maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menuntut ilmu”. Beliau pun menjawab, “Selamat datang, wahai penuntut ilmu. Sesungguhnya penuntut ilmu diliputi oleh para malaikat dan mereka menaunginya dengan sayap-sayap mereka. Kemudian sebagian mereka (malaikat) menaiki sebagian yang lain sampai ke langit dunia karena mencintai apa yang mereka lakukan”. (LIhat Akhlaq al-Ulama, hal. 37)
            Nabi shallallahu alaihi walsallam bersabda, “Sesunguhnya ALLAH tidak akan mencabut ilmu itu secara tiba-tiba dari pada manusia akan tetapi ALLAAH mencabut ilmu itu dengan cara mewafatkan para ulama. Sampai-sampai apabila tidak tersisa lagi orang alim maka orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin dari kalangan orang yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan menyesatkan”. (HR. Bukhari dan Muslim)
            Ibnul Qayyim berkata, “…. Kebutuhan kepada ilmu diatas kebutuhan kepada makanan, minuman bahkan diatas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada seekor keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada binatang di sisi ALLAH, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu”. (Lihat al-ilmu syarafuhu wa fadhluhu, hal. 96).
            Imam Ibnul Qayyim juga berkata, “ALLAH menjadikan ilmu bagi hati laksana air hujan bagi tanah. Sebagaimana tanah/bumi tidak akan hidup kecuali dengan curahan air hujan, maka demikian pula tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan ilmu”. (Lihat al-ilmu syarafuhhu wa fadhluhu, hal. 227).
            Imam Al-auza’I berkata, “Ilmu yang sebenarnya adalah apa yang datang dari para sahabat Muhammad. Ilmu apapun yang tidak berada diatas jalan itu maka pada hakikatnya itu bukanlah ilmu”. (Lihat Da’aim minhaj an nubuwwah, hal. 390-391).
            Ibnu Rajab al-hanbali berkata,”Ilmu tidak ukur semata-mata dengan banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan. Akan tetapi ia adalah cahaya yang ditanamkan kedalam hati. Dengan ilmu itulah seorang hamba bisa memahami kebenaran. Dengannya pula seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan. Orang yang benar-benar berilmu akan bisa mengungkap ilmunya dengan kata-kata yang ringkas dan tepat sasaran”. (Lihat Qowa’id fi’at Ta’amul ma’al ulama, hal. 39)
            Ibnu Mas’ud berkata kepada para sahabat, “Sesungguhnya kalian sekarang ini berada di masa para ulamanya masih banyak dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang suatu masa setelah kalian dimana tukang ceramahnya banyak namun ulamanya amat sedikit”. (Lihat Qowa’id fi at-Ta’amul ma’al ulama, hal.40)
            Imam Ibnu a’rabi berkata, “seorang yang berilmu tidak dikatakan sebagai alim robbani sampai dia menjadi orang yang benar-benar berilmu, mengajar ilmunya dan juga mengamalkannya”. (Lihat Fath al-bari,1/197). Lebih daripada itu, ahli ilmu yang sejati adalah yang selalu merasa takut kepada ALLAH. ALLAH Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya yang benar-benar merasa takut kepada ALLAH diantara hamba-hamba-NYA hanyalah orang-orang yang berilmu”. (QS. Fathir; 28). Karena ilmu dan rasa takutnya kepada ALLAH, maka para ulama menjadi orang-orang yang paling jauh dari hawa nafsu dan paling mendekati kebenaran sehingga pendapat mereka layak diperhitungkan dalam kacamata syariat islam. (Lihat Qowa’id fi at-ta’amul ma’al ulama, hal. 52).
            Masruq berkata, “sekadar dengan kualitas ilmu yang dimiliki seseorang maka sekadar itulah rasa takutnya kepada ALLAH. Dan sekadar dengan tingkat kebodohannya maka sekadar itulah hilang rasa takutnya kepada ALLAH”. (Lihat Syarh shahih al-bukhari).
            Sa’id bin Jubair berkata, “Sesungguhnya rasa takut yang sejati itu adalah kamu takut kepada ALLAH sehingga menghalangi dirimu dari berbuat maksiat. Itulah rasa takut. Adapun dzikir adalah sikap taat kepada ALLAH. Siapa pun yang taat kepada ALLAH maka dia telah berdzikir kepada-NYA. Barang siapa yang tidak taat kepada-NYA maka dia bukanlah orang yang benar-benar berdzikir kepada-NYA, meskipun dia banyak membaca tasbih dan tilawah Al-Quran”. (Lihat Sittu durar min Ushul ahli al-atsar, hal. 31)
            Ibnu Wahb menceritakan, suatu saat Abud Darda berkata: Aku tidak takut apabila kelak ditanyakan kepadaku, “Hai Uwaiwir, apa yang sudah kamu ilmui?”. Namun, aku khawatir jika ditanyakan kepadaku, “Apa yang sudah kamu amalkan dari ilmu yang sudah kamu ketahui?”. Karena ALLAH tidak memberikan ilmu kepada seseorang selama dia hidup di dunia melainkan pasti menanyainya pada hari kiamat”. (Lihat Syarh shahih al-bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136).
            Waki bin al-jarrah berkata, “Barang siapa menimba ilmu hadis  sebagaimana datangnya apa adanya maka dia adalah pembela sunnah. Dan barang siapa yang menimba ilmu hadis untuk memperkuat pendapatnya semata maka dia adalah pembela bid’ah”. (Lihat Mukadimah Tahqiq kitab az-zuhd karya Imam Waki, hal. 69).
            Sa’ad bin Ibrahim pernah ditanya; siapakah yang paling fakih (paham agama) diantara ulama di Madinah?. Maka beliau menjawab, “Yaitu orang yang paling bertakwa diantara mereka”.(Lihat Ta’liqat Risalah lathifah, hal. 44). Ibnus Samak berkata, “Wahai saudaraku, betapa banyak orang yang menyuruh orang lain untuk ingat kepada ALLAH sementara dia sendiri melupakan ALLAH. Betapa banyak orang yang menyuruh orang lain takut kepada ALLAH akan tetapi dia sendiri lancing kepada ALLAH. Betapa banyak orang yang mengajak ke jalan ALLAH sementara dia sendiri justru meninggalkan ALLAH. Dan betapa banyak orang yang membaca kitab ALLAH sementara dirinya tidak terikat sama sekali dengan ayat-ayat ALLAH. Wasallam “. (Lihat Ta’thirul anfas, hal. 570).
            Sufyan bin uyainah mengatakan, “barang siapa yang rusak diantara ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barang siapa yang rusak diantara ahli ilmu kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi”. Ibnul Qoyyim mengatakan, “Hal itu dikarenakan orang Nasrani beribadah tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran akan tetapi mereka justru berpaling darinya”. (Lihat Iqhatsat al-lahfan, hal.36)
            Imam Ibnul Qoyyim berkata, “… seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya ALLAH Yanga Maha Suci tidak akan mencela para pendeta ahli kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya ALLAH juga tidak akan mencela orang-orang munafik”. (Lihat al-fawa’id, hal. 34).
            Sufyan pernah ditanya, “Menurut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?” . Beliau pun menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menurut ilmu dengan dalih untuk focus beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan dalih untuk focus menuntut ilmu”. (Lihat Tsamrat al-ilmi al-amal, hal. 44-45).
            Abu abdillah ar-rudzabari berkata,”Barang siapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barang siapa yang berangkat menimba ilmu dalam rangka ingin mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya”. (Lihat al-muntakhab min kitab az-zuhd wa ar-raqaa’iq, hal. 71).
            Yusuf bin al-husain menceritakan; aku bertanya kepada Dzun Nun tatkala perpisahanku dengannya, “Kepada siapakah aku duduk/berteman dan belajar?”. Beliau menjawab, “Hendaknya kamu duduk bersama dengan orang yang dengan melihatnya akan mengingatkan dirimu kepada ALLAH. Kamu memiliki rasa segan kepadanya di dalam hatimu. Orang yang pembicaraannya bisa menambah ilmumu. Orang yang tingkah lakunya membuat mu semakin zuhud kepada dunia. Bahkan, kamu pun tidak mau bermaksiat kepada ALLAH seelama kamu sedang berada di sisinya. Dia memberikan nasehat kepadamu dengan perbuatannya, dan tidak menasehatimu dengan ucapannya semata”. (Lihat al-muntakhab min kitab az-zuhd wa ar Raqaa’iq, hal. 71-72).
Bertakwalah, Wahai Para Penimba Ilmu!

            ALLAH Ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada ALLAH niscaya ALLAH akan menjadikan untuk kalian furqan, menghapuskan dosa-dosa kalian dan mengampuninya untuk kalian. ALLAH lah pemilik keutamaan yang sangat besar”. (QS. Al-Anfal; 29).
            Ciri orang yang bertakwa itu adalah orang-orang yang menghiasi dirinya dengan aqidah shahih dan amal shalih, baik amal batin maupun amal lahiriyah. Sebagaimana telah ditegaskan oleh ALLAH dalam berfirman yang artinya, “Yaitu orang-orang yang beriman terhadap perkara gaib, mendirikan sholat, dan menyisihkan infak dari sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan orang-orang yang berriman terhadap apa yang diwahyukan kepada Nabi-Nabi sebelummu. Dan terhadap akhirat mereka pun menyakininya”. (QS. Al-Baqarah; 3-4).
            Hakikat iman itu sendiri adalah membenarkan secara pasti terhadap segala yang diberitakan oleh para Rasul, yang di dalam pembenaran itu telah terkandung ketundukan anggota badan terhadap ajaran mereka. Memang, yang menjadi ukuran utama keimanan bukanlah keyakinan terhadap perkara yang terjangkau oleh indera. Sebab hal itu tidaklah membedakan antara orang yang muslim dengan yang kafir. Sesungguhnya yang menjadi karakter katakwaan yang paling utama adalah iman terhadap perkara gaib; sesuatu yang tidak bisa kita lihat secara langsung dan tidak kita saksikan”. (Lihat Taisir al-karim ar-rahman).At-Tauhid: Hakikat Dan Buah Ilmu, Sebuah Rahasia Kejayaan

Wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammadin wa ala alihi wasallam. Walhamdulillahi Rabbil’alamin.

No comments:

Post a Comment