Luasnya Makna Ibadah
ALLAH Ta’ala berfirman yang artinya,
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan
manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat:56)
Jangan Terlalu Sempit Memahami
Ibadah
Sebagian orang bertanya dengan
maksud meragukan penjelasan ayat diatas. Apa benar kita diciptakan untuk
beribadah saja? Lalu apa kita harus sholat terus sepanjang hidup kita? Atau bersujud
terus melewati hari-hari kita? ALLAh Ta’ala tidak mungkin salah dalam
berfirman. Begitu juga dengan penjelasan para ulama tentang ayat diatas
bukanlah suatu penjelasan yang keliru. Hal yang harus diluruskan adalah
pandangan dan pemahaman kita dalam memaknai kata “Ibadah”. Ibadah bukan hanya
sholat, zakat, puasa dan haji semata.
Ibnu Taimiyah mendefinisikan makna
ibadah dengan definisi yang sangat bagus. Kata beliau, ibadah adalah segala
perkara yang dicintai oleh ALLAH Ta’ala, baik berupa perkataan ataupun
perbuatan, yang nampak atupun yang tidak nampak. (liihat Al-Ubudiyah, Ibnu
Taimiyah).
Bekali diri dengan Ilmu
Bagaimana cara mengetahui bahwa
perkara ini dicintai ALLAH Ta’ala atau tidak? Bagaimana membedakan bahwa
perkara itu mendatangkan keridhaan-NYA atau justru mengundang murka-NYA? Inilah
hikmah mengapa Rasulullah dengan tegas memerintahkan umatnya untuk belajar,
mencari ilmu, mempelajari tentang agamanya. Rasulullah bersabda, “Menuntut ilmu agama adalah perkara yang
wajib bagi setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah, shahih).
Tujuan utamanya adalah agar seorang
hamba bias mengetahui mana perkara-perkara yang dicintai oleh ALLAH Ta’ala yang
kemudian bisa dia amalkan, dan dia bisa mengetahui mana perkara yang dimurkai
oleh ALLAH yang kemudian dia bisa meninggalkanya. (lihat Tssmaratul Ilmi
Al-Amal, Syaikh Abdurrozzaq Al Badr).
Kaidah Dalam Mendefinisikan Ibadah
Hukum suatu perbuatan di dalam agama
islam ada lima, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Secara asalnya,
ibadah dalam agama islam hanya dengan dua bentuk pengamalan saja, yaitu:
1. Mengerjakan
perkara yang wajib atau mengerjakan perrkara yang sunnah, contohnya adalah
seseorang mengerjakan sholat baik yang sholat wajib atau sunnah, berpuasa baik
puasa yang wajib atau sunnah, dll.
2. Meninggalkan
perkara yang haram atau meninggalkan perkara yang makruh, contohnya adlah
seseorang meninggalkan kesyirikan, menjauhi perbuatan zina, menjauhi minum
khamnr
Adapun semata-mata perkar mubah pada
dasarnya tidak bisa dijadikan sebagi ibadah. Perkara yang sifatnya mubah
hukumnya relative, mengikuti niat dan tujuan dari pelakunya.
1. Apabila
dia niatkan untuk membantu mengerjakan perkara wajib/sunnah atau membantu
meninggalkan perkara makruh/haram maka perkara mubah tersebut akan berpahala
dan dinilai sebagai sebuah ibadah.
2. Apabila
dia niatkan perkara mubah tersebut untuk membantu mengerjakan perkara haram
atau membantu meninggalkan perkara wajib maka pelaku perkara mubah tersebut
akan berhak mendapatkan dosa.
3. Apabila
ketika mengerjakan perbuatan mubah seseorang tidak memiliki tujuan dan maksud
apapun, melainkan hanya sebatas perbuatan mubah itu saja dan tidak ada tujuan
dan maksud lainnya, maka pelaku perbuatan mubah tersebut tidak berhak
mendapatkan pahala dan tidak pula mendapatkan dosa. (penjelasan Syaikh Abdul
Aziz Ar Rays Hafizhahullah dalam rekaman kajian Al Muqaddimat Fii Dirasatit
Tauhid).
Hal ini akan lebih jelas jika
disertai dengan contoh, misalnya adalah perbuatan makan. Makan adalah perkara yang mubah. Seseorang tatkala makan,
jika dia berniat mengamalkan perintah ALLAH Ta’ala dalam firman-NYA yang
artinya, “Dan makanlah dan minumlah
kalian”. (QS. Al-A’raf:31). Dan dia berrniat agar badannya sehat dan kuat
untuk bisa mengerjakan sholat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya, maka perbuatan
maknanya tadi bernilai ibadah.
Sedangkan orang yang makan yang
berniat untuk bisa memiliki badan yang kuat dan kemudian bisa memukuli
orang-orang di sekitarnya dengan kekuatannya, atau bisa kuat mencuri, atau bisa
berzina maka perbuatan mkannya tadi dihitung sebagai dosa.
Adapun orang yang makan berniat
sebatas kebiasaan dan hanya untuk mengobati rasa laparnya semata, maka yang dia
dapatkan adalah apa yang dia inginkan tersebut, yaitu rasa kenyang (tidak
mendapatkan dosa dan tidak pula pahala). (Syarah Arba’in Nawawiyah Syaikh Ibnu
Utsaimin dengan sedikit penambahan).
Ibadah: Aktifitas Yang Harus Benar
Niat Dan Tata Caranya
Ibadah adalah perpaduan benarnya
amalan dzahir dan benarnya amalan bathin. Amalan dzahir yang benar adalah
amalan yang sesuai dengan tuntunan. Rasulullah. Amalan bathin yang benar adalah
ikhlas semata-mata ibadah terrsebut untuk ALLAH Ta’ala dan mengharapkan pahala
dari ALLAH Ta’ala.
Perkara niat merupakan perkara yang
teramat penting untuk dibahas. Inilah rahasia mengapa Islam sangat perhatian
terhadap pembahasan niat, diatas pembahasan tentang perkara agama yang lainnya.
Niat ada di dalam hati, tidak nampak secara dzahir, namun meskipun tidak
nampak, niat sangat menentukan balasan yang akan diterima.
Rasulullah bersabda, “Setiap amalan manusia tergantung dengan
niatnya, dan setiap manusia akan mendapatkan balasan dari ALLAh sesuai dengan
apa yang dia niatkan…”. (Muttafaqun alaihi)
Ibdah itu luas, namun tetap perlu di
tegaskan bahwa tata cara ibadah yang pokok yang bersifat ritual tidak boleh
sembarangan, meskipun niatnya baik dan benar. Ternyata niat yang baik saja
tidaklah cukup, harus disertai dengan amalan yang benar, yaitu sesuai dengan
petunjuk ALLAH dan Rasulullah, harus ada
dalilnya dari Al-Quran atau dari hadis Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang beramal ibadah dengan
amalan yang tidak ada petunjuknya dai kami, maka amalan tersebut akan tertolak
(tidak diterima sebagai ibadah)”. (HR. Muslim)
Contoh Ibadah pokok yang tidak
boleh sembarangan: Berzikir
Ketika seseorang mau berpergian, ia
terbiasa membaca surat Al-Fathiah sebanyak 3 kali. Berzikir pada dasarnya
adalah sesuatu yang disyari’atkan. Akan tetapi, menentukan bacaan tertentu
seperti diatas, yakni membaca surat Al-Fatihah 3 kali setiap akan berpergian,
membutuhkan dalil khusus dan tidak boleh sembarangan. Tidak boleh pula
beralasan “yang penting niatnya baik”. Karena ibadah pokok yang bersifat ritual
harus sesuai dengan apa yang ALLAh dan Rasul-NYA ajarkan.
Contoh perbuatan bernilai ibadah:
Naik Kendaraan
ALLAH Ta’ala berfirman yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah
kalian kepada ALLAH, taatlah kalian kepada Rasul, dan kepada Ulil Amri
(pemerintah) kalian”. (QS. An-Nisaa: 59).
Salah satu perintah ALLAH Ta’ala
dalam ayat diatas adalah perintah kepada para hamba-NYA untuk taat kepada
peraturan pemerintah. Missal: seorang pengendara motor mentaati segala bentuk
peraturan lalu lintas (misalnya dengan mengenakan helm, membawa SIM lengkap
dengan STNKnya dan mentaati rambu dan lampu lalu lintas dan lain-lain) dengan
niat tulus mengamalkan firman ALLAH Ta’ala terrsebut, yaitu mentaati peraturan
pemerintah, maka ini akan dinilai oleh ALLAH Ta’ala sebagai amalan ibadah dan
upaya pendekatan diri kepada ALLAH Ta’ala.
Contoh: Menyingkirkan Gangguan di
Jalan
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya iman terdiri dari tujuh puluh
sekian cabang, cabang tertinggi adalah perkataan Laa Ilaha Illallahu, dan
cabang terendah adalah menyingkirkan gangguan di jalan “. (HR. Muslim)
Salah satu perintah islam kepada
kaum muslin adalah perintah untuk menyingkirkan gangguan dari jalan, boleh jadi
berupa duri, atau kulit pisang atau sampah atau gangguan lainnya. Seseorang yang
menyingkirkan gangguan dari jalan dengan niat tulus ikhlas mengamalkan sabda
Rasulullah tersebut, dengan maksud agar tidak ada kaum muslimin yang terganggu
atau mengalami kecelakaan, maka perbuatannya tersebut berrnilai ibadah kepada
ALLAH Ta’ala dan ALLAH menjanjikan pahala baginya.
Semoga ALLAH Ta’ala berkenan
menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat, sehingga kita bisa memahami
mana saja perkara ibadah yang ALLAH cintai, dan yang lebih penting lagi adalah
agar kita bisa mengamalkannya di kehidupan kita sehari-hari, sehingga kita bisa
menjadikan seluruh hidup kita ini bernilai ibadah disisi ALLAH Ta’ala.