Hadis Dho’if Bukan Sandaran Hukum
Kaum muslimin yang semoga dirahmati
ALLAH SWT. Saat ini telah tersebar berbagai macam perkara baru dalam agama ini
yang tidak pernah dicontohkan Nabi shallallahu alaihi wasallam dan tidak pernah
pula dilakukan oleh para sahabatnya. Dan kebanyakan hal itu terjadi dikarenakan
tersebarnya hadis dho’if atau lemah di tengah-tengah umat.
Selain itu juga, hadis dhoif
digunakan oleh sebagian orang untuk menjelaskan keutamaan amal yaitu mendorong
umat untuk melakukan kebaikan dan menakut-nakuti mereka agar tidak melakukan
kejelekan. Hadis dhoif (bahkan palsu) ini semakin tersebar di zaman yang penuh
kebodohan mengenai derajat hadis saat ini baik melalui tulisan ataupun melalui
lisan para da’i. namun menjadi suatu pertanyaan penting, apakah hadis dhoif
(atau bahkan palsu) boleh dijadikan sandaran hukum?! Simaklah pembahasan
berikut ini.
Larangan Berdusta Atas Nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam
Kaum muslimin yang semoga selalu
ditunjuki oleh ALLAH SWT menuju kebenaran. Perlu diketahui, bahwa berdusta atas
nama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam termasuk dosa besar karena beliau
shallallahu alaihi wasallam mengancam orang yang demikian dengan neraka.
Sebagaimana sabda beliau shallallahu
alaihi wasallam, “Barang siapa yang
berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya dia mengambil tempat
duduknya di neraka”. (HR. Bukhari & Muslim). Dari hadis ini terlihat
jelas bahwa seseorang yang menyandarkan sesuatu kepada Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam tanpa mengetahui keshohihan hal tersebut memang berasal dari
Rasulullah, dia terancam masuk neraka.
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam juga bersabda, “Cukuplah
seseorang dikatakan berdusta, jika ia menceritakan setiap yang dia dengar”. (HR.
Muslim). Imam Malik mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya seseorang tidak akan
selamat jika dia menceritakan setiap yang didengarnya, dan dia tidak layak
menjadi seorang imam (yang menjadi panutan) sedangkan dia selalu menceritakan
setiap yang didengarnya”. (Dinukil dari Muntahal Amani bi Fawa’id Mushtholahil
Hadis lil Muhaddits Al Albani).
Dari perkataan Imam Malik ini
terlihat bahwa walaupun seseorang tidak dikatakan berdusta atas nama Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam secara langsung namun dia dapat dikatakan mendukung
kedustaan karena menukil banyak hadis lalu mendiamkannya, padahal bisa saja
hadis yang disampaikan dhoif atau palsu. (Lihat Muntahal Amani).
Hukum Memakai Hadis Dhoif
Setelah penjelasan larangan berdusta
atas Nabi shallallahu alaihi wasallam yaitu seseorang tidak boleh menyampaikan
suatu hadis tanpa tahu terlebih dahulu keshohihannya, maka perlu kita ketahui
pula hukum menggunakan hadis dho’if dengan melihat perkataan Imam Muslim.
Imam Muslim berkata, “Ketahuilah
bahwa wajib atas setiap orang yang mengerti pemilahan antara riwayat yang
shohih dari riwayat yang lemah dan antara perowi yang tertuduh (berdusta); agar
tidak meriwayatkan dari riwayat-riwayat tersebut melainkan yang dia ketahui
keshohihan periwayatnya dan terpecayanya para penukilnya, dan hendaknya dia
menjauhi riwayat-riwayat yang berasal dari orang-orangg yang tertuduh. Dalil
dari perkataan kami ini adalah firman ALLAH SWT yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. Al
Hujurat; 6).
Ayat yang kami sebutkan ini
menunjukkan bahwa berita orang yang fasik gugur dan tidak diterima dan
persaksian orang yang tidak adil adalah tertolak. (Muqoddimah Shohih Muslim). Maka
dapat disimpulkan bahwa hadis dho’if tidak boleh dijadikan sandaran hukum
karena periwayat hadis dho’if termasuk orang yang tertuduh atau majhul (Tidak
dikenal).
Bolehkah Hadis Dho’if Digunakan
Dalam Menyebutkan Keutamaan Amal?!
Ada sebagian kaum muslimin yang
sering membawakan hadis dho’if (bahkan sangat dho’if atau lemah) tentang
keutamaan berbagai amal dalam dakwah mereka. Mereka beralasan bahwa para ulama
telah sepakat bolehnya menggunakan hadis dho’if dalam hal tersebut. padahal di
pihak lain, banyak ulama yang menyatakan hadis dho’if tidak boleh diamalkan
secara mutlak meskipun di dalam masalah keutamaan amal.
Para kaum muslimin ketahui, bahwa
maksud sebagian ulama yang membolehkan menggunakan hadis dho’if bukanlah yang
dimaksudkan mereka menggunakan hadis dho’if serampangan begitu saja. Namun,
maksud mereka adalah bahwa dibolehkan menggunakan hadis dho’if untuk
menjelaskan keutamaan amalan dalam amalan yang telah disyariatkan dalam syariat
islam dengan dalil-dalil yang shohih seperti zikir, puasa dan sholat. Hal ini
dimaksudkan agar jiwa manusia selalu
mengharapkan pahala dari amalan-amalan tersebut atau menjadi takut untuk
melaksanakan suatu kejelekan. Para ulama tidak menghendaki penetapan hukum
syar’I dengan hadis-hadis yang dho’if atau lemah yang tidak memiliki landasan
pokok dari hadis yang shohih.
Para ulama yang membolehkan beramal
dengan hadis dho’if di dalam menyebutkan keutamaan amalan juga memberikan
persyaratan bagi hadis yang boleh diamalkan dalam hal tersebut. Syarat-syarat
tersebut adalah:
1. Hendaknya
hadis dho’if tersebut bukanlah hadis yang sangat dho’if atau lemah.
2. Hendaknya
hadis dho’if tersebut didukung oleh hadis shohih (atau minimal hasan) yang
sifatnya umum.
3. Di
dalam mengamalkannya tidak diyakini keshohihannya.
4. Hadis
ini tidak boleh dipopulerkan
Syarat-syarat diatas didalam
prateknya sulit sekali diterapkan oleh kebanyakan kaum muslimin. Kebanyakan dari
mereka tidak bisa memilah antara hadis dho’if dengan hadis yang dho’if jiddan
(lemah sekali) dan antara hadis yang di dalamnya memiliki landasan dari hadis
yang shohih dengan yang tidak . (Lihat Ilmu Ushul Bida’).
Mengenal hadis dho’if, Syaikh
Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Seddangkan hadis dho’if
diperselisihkan oleh para ulama rahimahumullah. Ada yang membolehkan untuk
disebarluaskan dan dinukil, namun mereka memberrikan tiga syarat dalam masalah
ini:
1. Hadis
tersebut tidaklah terlalu dho’if (tidak terlalu lemah)
2. Hadis
tersebut didukung oleh dalil lain yang shahih yang menjelaskan adanya pahala
dan hukuman.
3. Tidak
boleh diyakini bahwa hadis tersebut dikatakan oleh Nabi shallallahu alaihi
wasallam. Hadis tersebut haruslah disampaikan dengan lafadz tidak jazim (yaitu
tidak tegas). Hadis tersebut hanya digunakan dalam masalah at targhib untuk
memotivasi dan at tarhib untuk menakut-nakuti.
Yang dimaksudkan tidak boleh
menggunkan lafaz jazim adalah tidak boleh menggunakan kata “qola Rasulullah”,
yaitu Rasulullah bersabda. Namun kalau hadis dho’if tersebut ingin
disebarluaskan maka harus menggunakan lafaz, “ruwiya an rasulillah” yang
artinya ada yang meriwayatkan dari Rasulullah atau lafaz “dzukiro anhu” yang
artinya ada yang menyebutkan dari Rasulullah, atau “qilla” atau semacam itu. Jadi
intinya, tidak boleh menggunakan lafazh “Qola Rosulullah” tatkala menyebutkan
hadis dho’if.
Jika di masyarakat tidak bisa
membedakan antara perkataan dzukira, qilla, ruwiya dan qoola maka hadis dho’if
tidak boleh disebarluaskan sama sekali. Karena ditakutkan masyarakat akan
menyangka bahwa itu adalah hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam. (Faedah Ilmu
dari Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin,
hal; 401 – 402, cetakan pertama, 1424 H).
Faedah Lainnnya
Dari sini menunjukkan bahwa hadis
dho’if tidak boleh digunakan untuk menentukan suatu amalan kecuali jika ada
hadis shahih lain yang mendukungnya. Karena disebutkan hadis dho’if hanya boleh
untuk memotivasi beramal atau menakut-nakuti, bukan untuk menentukan
dianjurkannya suatu amalan, kecuali jika ada hadis shahih yang mendukung hal
ini. Perhatikanlah! Misalnya ada hadis dhoif mengenai amalan pada malam tertentu.
Kalau landasannya dari hadis dhoif tanpa pendukung dari hadis shohih, maka
tidak boleh digunakan sama sekali sebagai landasan untuk beramal.
Demikian pembahasan ringkas kami. Semoga
bermanfaat. Hanya ALLAH SWT yang beri taufik.At-Tauhid: Hadis Dho'if Bukan Sandaran Hukum
No comments:
Post a Comment