Ramadhan Bersama Siapa?
Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu
bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda, “Hari puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, idul fitri adalah
hari ketika orang-orang berbuka, dan Idul Adha adalah hari ketika orang-orang
menyembelih”. (HR. Tirmidz; 632, Ad Daruquthni; 385).
Dalam lafas yang lain; “Kalian berpuasa ketika kalian semuanya
berpuasa, dan kalian berbuka ketika kalian semua berbuka”. (HR. Ad
Daruquthni; 385, Ishaq bin Rahawih dalam Musnad; 238)
Derajat Hadis
At Tirmidzi berkata; “Hadis ini
hasan Gharib”. An Nawawi berkata; “Sanad hadis ini hasan”. (Al Majmu, 6/283). Syaikh
Al Albani berkata; “Sanad Hadis ini jayyid”. (Silsilah Ahadis Shahihah, 1/440).
Faidah Hadis
Pertama; puasa dan lebaran bersama
pemerintah dan mayoritas orang setempat. At Tirmidzi setelah membawakan hadis
ini ia berkata; “Hadis ini hasan gharib, sebagian ulama menafsirkan hadis ini,
mereka berkata bahwa maknanya adlah puasa dan berlebaran itu bersama Al-Jama’ah
dan mayoritas manusia”.
Ash Shan’ani berkata; “Haids ini
dalil bahwa penetapan hari raya itu mengikuti mayoritas manusia. Orang yang
melihat ru’yah sendirian wajib mengikuti orang lain dan mengikuti penetapan
mereka dalam shalat ied, lebaran dan idul adha”. (Subulus Salam 2/72, dinukil
dari Silsilah Ash Shahihah 1/443).
Al Munawi mengatakan: “Makna hadis
ini, puasa dan berlebaran itu bersama Al-Jama’ah dan mayoritas manusia”. (At
Taisiir syarh Al Jami’ Ash Shaghir, 2/106). Syaikh Al Albani menjelaskan, bahwa
makna ini juga dikuatkan oleh hadis Aisyah, ketika Maruq (seorang tabi’in)
menyarankan beliau untuk tidak berpuasa Arafah tanggal 9 Dzulhijjah karena
khawatir hari tersebut adalah tanggal 10 Dzulhijjah yang terlarang untuk
berpuasa. Lalu Aisyah menjelaskan kepada Masruq bahwa yang benar adalah
mengikuti Al-Jama’ah. Aisyah radhiallahu anha berdalil dengan hadis; “An Nahr
(Idul Adha) adalah hari ketika orang-orang menyembelih dan Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berhari
raya”. (Lihat Silsilah Ahadis shahihiah 1/444).
Perlu diketahui, bahwa istilah Al
Jama’ah maknanya adlah umat islam yang berkumpul bersama ulama dan penguasa
muslim yang sah, mereka yang senantiasa meneladani ajaran Nabi shallallahau
alaihi wasallam dengan pemahaman para sahabat Nabi. Maka mengikuti AL Jama’ah
dalam hal penentuan Ramadhan dan Hari Raya adalah mengikuti keputusan
pemerintah muslim yang sah yang berkumpul bersama para ulamanya yang diputuskan
melalui metode-metode yang sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Hal ini juga dalam rangka mengikuti
firman ALLAH Ta’ala yang artinya, “Taatlah
kepada ALLAH dan Taatlah kepada Rasul-NYA serta ulil amri kalian”. (QS. An
Nisa; 59). Memang bisa jadi imam atau pemerintah berbuat kesalahan dalam
penetapan waktu puasa, semisal melihat hilal yang salah, atau menolak
persaksian yang adil dan banyak, atau juga menerima persaksian yang sebenarnya
salah, atau kesalahan-kesalahan lain yang mungkin terjadi. Namun yang
dibebankan kepada kita sebagai rakyat dalam hal ini adalah sekadar ta’at dan
menasehati dengan baik jika ada kesalahan. Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda, “Dengar dan taatlah
kepada penguasa karena yang jadi tanggungan kalian adalah yang wajib bagi
kalian, dan yang jadi tanggungan mereka adalah yang wajib bagi mereka”. (HR.
Muslim)
Kedua; urusan penetapan waktu puasa
dan lebaran adlah urusan pemerintah. As Sindi menjelaskan, “Nampak dari hadis
ini bahwa urusan waktu puasa, lebaran dan idul adha, bukanlah urusan
masing-masing individu, dan tidak boleh bersendiri dalam hal ini. Namun ini
adalah urusal imam (Pemerintah) dan al Jama’ah. Oleh karena itu wajib bagi
setiap orang untuk tunduk kepada imam dan al Jama’ah dalam urusan ini. Dari hadis
ini juga, jika seseorang melihat hilal namun, pemerintah menolak persaksiannya,
maka hendaknya orang itu tidak menetapkan sesuatu bagi dirinya sendiri,
melainkan hendaknya mengikuti al Jama’ah”, (Hasyiah An Sindi, 1/509)
Hal ini juga didukung oleh dalil
yang lain yang menunjukkan bahwa urusan penetapan puasa dan lebaran adalah
urusan pemerintah. Sebagaimana yang dipratekan di zaman Nabi. Sahabat Ibnu umar
berkata; “Orang-orang melihat hilal, maka aku kabarkan kepada Rasulullah
shallalllahu alaihi wasallam bahwa aku melihatnya. Lalu beliau memerintahkan
orang-orang untuk berpuasa”. (HR. Abu Daud).
“Ada seorang sambil menunggang
kendaraan datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam ia bersaksi bahwa
telah melihat hilal di sore hari. Lalu Nabi memerintahkan orang-orang untuk
berbuka dan memerintahkan besok paginya berangkat ke lapangan”. (HR. At
Tirmidzi dan Abi Daud)
Hadis Ibnu Umar diatas menunjukkan
bahwa urusan penetapan puasa diserahkan kepada pemerintahkan bukan diserahkan
kepada masing-masing individu atau kelompok masyarakat.
Ketiga; persatuan umat lebih
diutamakan daripada pendapat individu atau kelompok. Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani menuturkan; ketentuan seperti inilah yang layak bagi
syariat ii yang salah satu tujuannya adalah persatuan umat dan bersatunya
mereka dalam satu barisan, serta menjauhkan segala usaha untuk memecah belah
umat dengan adanya pendapat-pendapat individu. Pendapat-pendapat individu
(walaupun dianggap benar), dalam perkara ibadah jama’iyyah seperti puasa,
shalat jama’ah, pendapat-pendapat itu tidak teranggap dalam syariat.
Tidaklah anda lihat para sahabt Nabi
bermakmum kepada sahabat yang lain? Padahal diantara mereka ada yang
berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, keluar darah adalah
pembatal wudhu sedangkan sebagiannya tidak berpendapat sedemikian. sebagian
mereka ada yang shalat dengan rakaat sempurna ketika safar, dan ada yang
mengqashar. Namun ikhtilaf ini tidak membuat mereka enggan bersatu dalam satu
shaf shalat dan menjadi makmum bagi yang lain dan tetap menganggap shalatnya
sah. Itu karena mereka mengetahui bahwa berpecah belah dalam masalah agama itu
lebih buruk daripada kita menyelisihi sebagian pendapat.
Pernah terjadi diantara mereka,
sebuah kasus adanya sahabat yang enggan mengikuti pendapat imam yang berkuasa
dalam sebuah masyarakat yang besar di Mina. Bahkan sampai ia enggan beramal
dengan pendapat sang imam secara mutlak karena khawatir terjadi keburukan jika
beramal sesuai dengan pendapat sang imam. Abu Daud (1/307) meriwayatkan.
“Utsman
bin Affan radhiallahu anhu sholat di Mina empat rakaat. Maka Ibnu Mas’ud pun
mengingkari hal ini dan berkata; “Aku pernah sholat bersama Nabi shalallallahu
alaihi wasallam dua rakaat (diqashar), bersama Abu Bakar dua rakaat, bersama
Umar dua rakaat, dan bersama Utsman di awal pemerintahannya, beliau
melakukannya dengan sempurna (empat rakaat, tidak diqashar). Setelah itu
berbagai jalan (manhaj) telah memecah belah kamu semua. Dan aku ingin sekiranya
empat rakaat itu tetap menjadi dua rakaat. Namun setelah itu tetap menjadi dua
rakaat. Namun seetelah itu Ibnu Mas’ud shalat empat rakaat. Ada yang bertanya; “Ibnu
Mas’ud engkau mengkritik Utsman namun tetap sholat empat rakaat?. Ibnu Mas’ud
menjawab; “Perselisihan itu buruk”. Sanad hadis ini shahih, diriwayatkan
juga oleh Ahmad (5/155).
Renungkanlah hadis ini dan juga
atsar yang kami sebutkan, khususnya bagi orang-orang yang selalu saja
berselisih. Terutama dalam shalat witir di bulan Ramadhan, dengan alasan beda
madzhab. Sebagian mereka juga ada menyerukan ilmu falak, lalu merreka
berlebaran sendiri lebih dahulu atau lebih akhir daripada mayoritas kaum
muslimin, karena menggunakan pendapat dan ilmu falak mereka. Dengan sikap acuh
tak acuh mereka menyelisih kaum muslimin. Hendaknya mereka ini merenungkan apa
yang kami sampaikan, mudah-mudahan mereka bisa memahaminya. Sehingga akhirnya
mereka bisa bersatu dalam barisan bersama kaum muslimin yang lain. (Silsilah
Ahadis Shahihah, 1/445)
Keempat; isyarat tentang adanya
perselisihan umat dalam masalah penetapan puasa. Hadis diatas juga merupakan
isyarat dari Nabi bahwa aka nada orang dan kelompok-kelompok yang menyelisihi
petunjuk Nabawi dalam penetuan puasa. Al Mubarakfuri berkata; “Sebagian ulama
menafsirkan hadis ini, maknanya adalah kabar bahwa manusia akan terpecah
menjadi kelompok-kelompok dan menyelisihi petunjuk Nabawi. Ada kelompok yang
menggunakan hisab, ada kelompok yang berpuasa atau berwukuf lebih dulu bahkan
mereka menjadikan hal itu syiar kelompok mereka. Namun yang selain mereka
adalah mengikuti petunjuk Nabawi, yaitu golongan orang-orang yang zhahir alal
haq, merekalah yang didalam hadis diatas disebut an naas, merekalah as sawaadul
a’zham, walaupun jumlah mereka sedikit”. (Tuhfatul Ahwazi, 3/313).At-Tauhid: Ramadhan Bersama Siapa?
No comments:
Post a Comment