Setiap Ucapan Akan Masuk Catatan
Amal
Segala puji bagi ALLAH, Rabb semesta
alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabat. Sebuah
ayat menarik sekali untuk dikaji yang berisi pelajaran agar kita pintar-pintar
menjaga lisan. Ayat tersebut terdapat dalam surat Qaaf tepatnya ayat 18. ALLAH
Ta’ala berfirman yang artinya, “Tiada
suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada didekatnya Malaikat Pengawas
yang selalu hadir”. (QS. Qaaf; 18).
Ucapan yang dimaksudkan dalam ayat
ini adalah yang diucapkan oleh manusia, keturunan Adam. Ucapan tersebut dicatat
oleh malaikat yang sifatnya roqib dan atid yaitu senantiasa dekat dan tidak
pernah lepas dari seorang hamba. Malaikat tersebut tidak akan membiarkan satu
kalimat dan satu gerakan melainkan ia akan mencatatnya. Hal ini sebagaimana
firman ALLAH Ta’ala yang artinya, “Padahal
sesungguhnya bagi kamu ada malaikat-malaikat yang mengawasi pekerjaanmu, yang
mulia di sisi ALLAH dan mencatat pekerjaan-pekerjaanmu itu, mereka mengetahui
apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Infithar; 10-12).
Apakah Semua Perkataan Akan
Dicatat?
Tentang masalah ini para ulama ada
dua pendapat. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang dicatat hanyalah yang
bernilai pahala dan dosa. Namun jika kita melihat dari tekstual ayat, yang
dimaksud ucapan dalam ayat tersebut adalah ucapan apa saja, sampai-sampai
ucapan yang mubah sekalipun. Akan tetapi, untuk masalah manakah yang kena
hukuman, tentu saja amalan yang dinilai berpahala dan dinilai dosa.
Sebagian ulama yang berpendapat
bahwa semua ucapan yang bernilai netral (tidak bernilai pahala atau dosa) akan
masuk dalam lembaran catatan amalan, sampai-sampai punya sikap yang cukup
hati-hati dengan lisannya. Cobalah kita saksikan bagaimanakah kisah dari Imam
Ahmad ketika beliau merintih sakit.
Imam Ahmad pernah didatangi oleh
seseorang dan beliau dalam keadaan sakit. Kemudian beliau merintih kala itu. Lalu
ada yang berkata kepadanya (yaitu Thowus, seorang tabi’in yang terkenal), “Sesungguhnya
rintihan sakit juga dicatat oleh malaikat”. Setelah mendengar nasehat itu, Imam
Ahmad langsung diam, dan beliau tidak merintih lagi. Beliau takut jika merintah
sakit, rintihannya tersebut akan dicata oleh malaikat.
Coba bayangkan bahwa perbuatan yang
asalnya wajar-wajar saja ketika sakit, Imam Ahmad pun tidak ingin melakukannya
karena beliau takut perbuatannya tadi walaupun dirasa ringan masuk dalam
catatan malaikat. Oleh karena itu, beliau rahimahullah pun menahan lisannya. Barangkali
saja rintihan tersebut dicatat dan malah dinilai sebagai dosa nantinya. Barangkali
rintihan tersebut ada karena bentuk tidak sabar.
Mampukah Kita Selalu Memperhatikan
Lisan?
Sungguh nasehat yang amat bagus dari
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang seharusnya kita bisa resapi
dalam-dalam dan selalu mengingatnya. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya ada seorang hamba yang
berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih
dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh
dari pada jarak antara timur dan barat”. (HR. Muslim).
Intinya, penting sekali
memperhatikan lisan sebelum berucap. An Nawawi menyampaikan dalam kitabnya
Riyadhush Sholihin nasehat yang amat bagus, “Ketahuilah bahwa sepatutnya setiap
orang yang telah dibebani berbagai kewajiban untuk menahan lisannya dalam
setiap ucapan kecuali ucapan yang jelas maslahatnya. Jika suatu ucapan sama
saja antara maslahat dan bahayanya, maka menahan lisan untuk tidak berbicara
ketika itu serasa lebih baik. Karena boleh saja perkataan yang asalnya mubah
beralih menjadi haram atau makruh. Inilah yang seringkali terjadi dalam
keseharian. Jalan selamat adalah kita menahan lisan dalam kondisi”.
Jika lisan ini benar-benar dijaga,
maka anggota tubuh lisannya pun akan baik. Karena lisan adalah interpretasi
dari apa yang ada dalam hati dan hati adalah tanda baik seluruh amalan lainnya.
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Bila manusia berada di waktu pagi, seluruh
anggota badan akan patuh pada lisan. Lalu anggota badan tersebut berkata pada
lisa; Takutlah pada ALLAH bersama kami, kami bergantung padamu. Bila engkau
lurus kami pun akan lurus dan bila engkau bengkok (menyimpang) kami pun akan
seperti itu”. (HR. Tirmidzi). Hadis ini pertanda bahwa jika lisan itu baik,
maka anggota tubuh lainnya pun akan ikut baik.
Semoga yang singkat ini dari kajian
tafsir surat Qaaf bermanfaat. Ya ALLAH, tolonglah kami untuk selalu menjaga
lisan kami inni agar tidak terjerumus dalam kesalahan.
Tidak Semua Khilafiyah Di Toleransi
Serinngkali kita dapatkan ketika
para da’I mengoreksi sebuah kesalah dalam beragama atau memberikan nasehat
untuk meninggalkan sesuatu yang salah mereka menghadapi pernyataan-pernyataan
seperti “Sudahlah biarkan saja, ini kan Khilafiyah”. Atau “Jangan merasa benar
sendiri lah, ini kan khilafiyah”. Terkadang pernyataan-pernyataan tersebut
datang dari orang-orang yang enggan menerima nasehat tapi tidak bisa membantah
karena tidak memiliki ilmu, akhirnya dalih khilafiyah pun dipakai.
Pada prakteknya, terkadang yang
mereka anggap khilafiyah itu ternyata bukan khilafiyah, namun terkadang memang
khilafiyah. Yang ingin kami bahas disini adalah bahwa tidak semua perkara
khilafiyah itu bisa ditoleransi, sehingga semuanya dianggap benar dan boleh dipegang.
Jika Terjadi Perselisihan Wajib
Berhukum Kepada Dalil Bukan Khilafiyah
Banyak sekali firman ALLAH Ta’ala
dan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang memerinntahkan kita untuk
berhukum dengan Al-Quran dan Sunnah ketika terjadi perselisihan. ALLAH Ta’ala
berfirman yang artinya, “Jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah ia kepada ALLAH (Al-Quran)
dan Rasul (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada ALLAH dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (Bagimu)dan lebih baik akibatnya “. (QS.
An Nisa; 59). Hadis ini juga member faidah bahwa Al-Quran dan Sunnah dipahami
dengan pemahaman para sahabat.
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda; “Telah berpecah kaum
Yahudi menjadi 71 golongan dan telah berpecah kaum Nashara menjadi 72 golongan,
sedang umatku akan berpecah menjadi 73 golongan, semuanya akan masuk neraka
kecuali satu. Maka kami pun bertanya, siapakah yang satu tiu ya Rasulullah? Beliau
menjawab; yaitu orang-orang yang berada pada jalanku dan jalannya para
sahabatku di hari ini”. (HR. Tirmidzi)
Jelas sekali bahwa jika ada
perselisihan maka solusinya adlah kembali kepada dalil, dan tentunya dipahami
dengan pemahaman generasi terbaik umat islam yaitu sahabat Nabi, tabi’in dan
tabi’ut tabi’in. maka tidak tepat sebagian orang yang jika ada perselisihan
selalu menuntut toleransi terhadap semua pendapat, seolah semua pendapat itu
benar semua dan semuanya halal, hanya dengan dalil ini kan khilafiyyah.
Pendapat Ulama Bukan Dalil
Para ulama berkata; “Pendapat para
ulama itu butuh dalil dan ia bukanlah dalil”. Imam Abu Hanifah berkata; “Tidak
halal bagi siapapun mengambil pendapat kami, selama ia tidak tahu darimana kami
mengambilnya dalilnya”. (Diriwayatkan Ibnu Abdil Barr dalam Al Intiqa).
Imam Asy Syafi’I berkata; “Para
ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya sunnah
Rasulullah shallallallahu alaihi wasallam tidak boleh ia meninggalkan sunnah
demi membela pendapat siapapun”. (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam).
Imam Malik berkat; “Saya ini hanya
seorang manusia, kadang salah dan kadang benar. Cermatilah pendapatku, tiap
yang sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai
dengan Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah..”. (Diriwayatkan Ibnu Abdil Barr)
Orang yang hatinya berpenyakit akan
mencari-cari pendapat salah dan aneh dari para ulama demi mengikuti hawa
nafsunya menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Sulaiman At Taimi
berkata, “Andai engkau mengambil pendapat yang mudah-mudah saja dari para
ulama, atau mengambil setiap ketergelinciran dari pendapat para ulama, pasti
akan terkumpul padamu seluruh keburukan”. (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim)
Kapan Khilafiyyah Ditoleransi?
Syaikh Mustafa Al Adawi berkata; “Ada
banyak permasalahan yang para ulama berlapang dada dalam menyingkapi
perselisihan di dalamnya, karena ada beberapa para ulama disana. Setiap pendapat
disandarkan pada dalil yang shahih atau pada kaidah asal yang umum, atau kepada
qiyas jaliy.
Maka dalam permasalahan yang seperti
ini, tidak boleh kita menganggap orang yang berpegang pada pendapat lain sebagi
musuh, tidak boleh menggelarinya sebagi orang yang sesat dan menyimpang. Bahkan
selayaknya kita mentoleransi semua pendapat selama bersandar pada dalil shahih,
walaupun kita menganggap pendapat yang kita pegang itu lebih tepat. (Mafatihul
Fiqhi, 1/100).
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata “Ucapan
sebagian orang bahwa masalah khifiyyah itu tidak boleh diingkari, tidaklah
benar. Dalam pengingkaran pendapat., jika suatu pendapat menyelisih sunnah atau
ijma’ yang telah dikenal kebenaran nukilannya, maka pendapat tersebut wajib
untuk diingkari menurut kesepakatan para ulama. Meskipun tidak secara langsung
pengingkarannya, menjelaskan lemahnya pendapat tersebut, ini juga merupakan
bentuk pengingkaran”.
Beliau melanjutkan; “Bagaimana
mungkin seorang ahli fiqih mengatakan bahwa tidak boleh ada pengingkaran pada
masalah khilafiyyah, padahal ulama dari semua golongan telah sepakat menyatakan
secara tegas bahwa keputusan hakim jika menyelisihi Al-Quran atau Sunnah
menjadi batal. Walaupun keputusan tadi telah sesuai dengan pendapat sebagian
ulama. Sedangkan jika dalam suatu permasalahan tidak ada dalil tegas dari
Sunnah atu ijma dan memang ada ruang bagi ulama untuk berijtihad dalam masalah
ini, maka orang yang mengamalkannya tidak boleh diingkari”. (I’Iamul Muwaqqi’in,
3/224).At-Tauhid: Setiap Ucapan Akan Masuk Catatan Amal
No comments:
Post a Comment