Mendudukkan Akal Pada Tempatnya
Betapa
banyak orang yang mendewakan akal. Setiap perkara selalu dia timbang-timbang
dengan akal atau logikanya terlebih dahulu. Walaupun sudah ada nash Al-Quran
atau Hadis, namun jika bertentangan dengan logikanya, maka logika lebih dia
dahulukan daripada dalil syar’i. inilah yang biasa terjadi pada ahli kalam. Lalu
bagaimanakah mendudukkan akal yang sebenarnya? Apakah kita menolak dalil akal
begitu saja? Ataukah kita mesti mendudukkan pada tempatnya?.
Sebelum Melangkah Lebih Jauh
Terlebih dahulu yang kita harus
pahami, setiap insane beriman hendaklah bersikap patuh dan tunduk kepada ALLAH
dan Rasulullah. Setiap wahyu yaitu Al-Quran dan Hadis itu berasal dari-NYA.
Rasul memiliki kewajiban untuk menyampaikan wahyu tersebut. sedangkan kita
memiliki kewajiban untuk menerima wahyu tadi secara lahir dan batin.
ALLAH Ta’ala berfirman yang artinya,
“Dan taatlah kepada ALLAH dan taatlah
kepada Rasul, jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami
hanyalah menyampaikan (amanat ALLAH) dengaan terang”. (QS. At-Taghabun:
12).
Az-Zuhri mengatakan, “Wahyu berasal
dari ALLAH, Rasul shallallahu alaihi wasallam hanyalah menyampaikan kepada kita.
Sedangkan kita diharuskan untuk pasrah (menerima)”. (Diriwayatkan oleh Bukhari
dalam Kitabut Tauhid secara mu’allaq yakni tanpa sanad)
Oleh karena itu, jika ALLAH dan
Rasul-NYA telah menetapkan suatu perkara, maka tidak ada pilihan bagi seorang
muslim untuk berpaling kepada selainnya, kepada perkataan ulama A, Kyai B,
ustadz C atau pun logikanya sendiri, padahal pendapat mereka telah nyata
menyelisihi Al-Quran dan Sunnah(Ajaran) Nabi. ALLAH Ta’ala berfirman yang
artinya,”Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mukmin dan tidak pulak bagi perempuan yang mukmin, apabila ALLAH
dan Rasul-NYA telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai ALLAH dan
Rasul-NYA maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al-Ahzab
: 36).
Ibnul Qayyim mengatakan, “Ayat ini
menunjukkan bahwa jika telah ada ketetapan dari ALLAH dan Rasul-NYA dalam
setiap masalah baik dalam permasalah hukum atau pun berita seperti permasalahan
aqidah, maka seseorang tidak boleh memberikan pilihan selain pada ketetapan
ALLAH dan Rasul-NYA tadi lalu dia berpendapat dengannya. Sikap berpaling kepada
ketetapan selain ALLAH dan Rasul-NYA sama sekali bukanlah sikap seorang mukmin.
Dari sini menunjukkan bahwa sikap semacam ini termasuk menafikan (meniadakan)
keimanan”. (Zadul Muhajir Ar- Risalah At Tabukiyah, hal. 25).
Akal Tidak Bisa Berdiri Sendiri
Walaupun akal bisa digunakan untuk
merenungi dan memahami Al-Quran, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Bahkan akal
sangat membutuhkan dalil syar’I (Al-Quran dan Hadis) sebagai penerang jalan. Akal
itu ibarat mata. Mata memang memiliki potensi untuk melihat suatu benda. Namun tanapa
adanya cahaya, mata tidak dapat melihat apa-apa. Apabila ada cahaya, barulah
mata bisa melihat benda dengan jelas.
Jadi itulah akal. Akal barulah bisa
berfungsi jika ada cahaya Al-Quran dan Hadis atau dalil syar’i. jika tidak ada
cahaya wahyu, akal sangatlah mustahil dan mengetahui sesuatu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Bahkan akal adalah syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk
beramal dengan baik dan sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan amal. Akan
tetapi, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal bisa berfungsi jika dia memiliki
instink dan kekuatan sebagaimana penglihatan mata bisa berfungsi jika ada
cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al-Quran barulah akal akan
seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian tanpa cahaya,
akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu”. (Majmu Al Fatawa, 3/338-339).
Intinya, akal bisa berjalan dan
berrfungsi jika ditunjiki oleh dalil syar’I yaitu dalil dari Al-Quran dan
Sunnah. Tanpa cahaya ini, akal tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya.
Mungkinkah Akal dan Dalil Syar’I Bertentangan
jika
kita sudah mengetahui bahwa akal tidaklah bisa berfungsi kecuali dengan adanya
penerang dari Al-Quran dan Sunnah, maka tentu saja akal yang benar tidaklah
mungkin bertentangan dengan dalil syar’i. jika bertentangan, maka akal yang
patut diyanyakan dan dalil syar’ilah yang patut dimenangkan. Kita dapat
memberikan deskripsi tentang akal dan dalil syar’I sebagai berikut:
ada seseorang bernama Budi ingin
bertanya suatu hal kepada seorang ulama. Akhirnya dia dibantu oleh Ahmad. Ahmad
pun menunjukkan Budi pada ulama tersebut. dalam suatu masalah, Ahmad menyelisih
pendapat ulama tadi, lalu Ahmad mengatakan pada Budi, “Aku yang telah menunjuki engkau mengambil pendapatku bukan ulama tadi”.
Tentu saja Budi akan mengatakan:”Engkau
memang telah menunjuki atau menyuruhku untuk mengikuti ulama tadi, namun bukan
untuk mengikuti pendapatmu, jika aku mengikuti petunjukmu bahwa ulama tadi
adalah tempat untuk bertanya, hal ini bukan setiap aku harus mencocokimu dalam
setiap yang engkau katakan. Jika engkau keliru dan menyelisihi ulama tadi
padahal dia lebih berilmu darimu, maka kekeliruanmu pada saat ini tidaklah
membuat cacat tentang keilmuanmu bahwa dia adalah ulama.
Ini adalah permisalan dengan seorang
ulama yang mungkin saja salah. Lalu bagaimanakah jika pada posisi ulama
tersebut adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang tidak mungkin
keliru dalam penyampain berita dari ALLAH?
Dari deskripsi ini, akal dimisalkan
dengan si Ahmad yang jadi petunjuk kepada ulama tadi. Sedangkan ulama tersebut
adalah permisalan dari dalil syar’I yang dibawa oleh Rasulullah. Inilah sikap
yang harus kita miliki tatkala kita menemukan bahwa akal ternyata bertentangan
dengan dalil syar’i. Sikap yang benar ketika itu adalah seseorang mendahulukan
dalil syar’I daripada logika. Sebagaimna kita mendahulukan ulama tadi dari si
Ahmad sebagai petunjuk jalan. Jika dalil syar’I bertentangan dengan akal, maka
dalillah yang harus didahulukan. Namun hal ini tidak membuat akal itu cacat
karena dia telah menunjuki kepada dalil syar’i.
Inilah yang diyakini oleh Ahlus
Sunnah wal Jama’ah, yaitu jika akal bertentangan dengan dalil Al-Quran dan
Sunnah, maka dalil syar’I lebih harus kita dahulukan dari akal. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika seseorang mengetehui dengan akalnya bahwa ini
adalah Rasulullah. Kemudian ada berita dari Rasulullah, namun ternyata berita
tersebut menyelisihi akal. Pada saat ini akal harus pasrah dan patuh. Akal harus
menyelesaikan permasalah ini dengan menyerahkan pada orang yang lebih tahu
darinya yaitu dari berita Rasulullah. Pada saat ini, akal tidak boleh
mendahulukan hasil pemikirannya dari berita Rasul. Karena sebagaimana diketahui
bahwa akal manusia itu memiliki kekurangan dibandingkan dengan berita Rasul.
Nabi shallallahu alaihi wasallam tentu saja lebih mengerti mengenai ALLAH Ta’ala
nama dan sifat-sifat-Nya, serta lebih mengetahui tentang berita hari akhir
daripada akal”. (Dar-ut Ta’arudh, 1/80).
Akal Tidak Mungkin Bertentangan
dengan Dalil Al-Quran dan As Sunnah
Inilah
yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah yaitu dalil akal tidaklah mungkin
bertentangan dengan dalil Al-Quran dan Sunnah yang shaih sama sekali. Maka tidaklah
tepat jika seseorang mengatakan bahwa logika (dalil Akal) bertentangan dengan
dalil syar’i. Jika ada yang mengatakan demikian, maka hal inni tidaklah lepas
dari beberapa kemungkinan:
1. Itu
sebenarnya syubhat (kerancuan) dan bukan logika (dalil akal) yang benar
2. Dalil
syar’i digunakan bukanlah dalil yang bisa diterima, mungkin karena dalilnya
tidak shahih atau adanya salah pemahaman.
3. Hal
ini karena tidak mampu membedakan antara sesuatu yang mustahil bagi akal dan
sesuatu yang tidak dipahami oleh akal dengan sempurna. Syari’at itu datang minimal
dengan dalil yang tidak dipahami oleh akal yang sempurna. Dan syari’at ini
mungkin datang dengan dalil yang dianggap mustahil bagi akal.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Rasul itu datang dengan wahy minimal tidak digapai oleh akal
dengan sempurna. Namun beliau tidaklah datang dengan wahyu yang mustahil bagi
akal untuk memahaminya”. (Majmu Al-Fatawa, 3/339).
Semoga kita dapat memahami hal ini.At-Tauhid: Mendudukkan Akal Pada Tempatnya
No comments:
Post a Comment