Hakikat Dan Buah Ilmu, Sebuah
Rahasia Kejayaan
Dari Umar bin khathaab, Rasulullah
bersabda, “Sesungguhnya ALLAH akan mengangkat sebagian kaum dengan Kitab ini
(Al-Quran), dan akan merendahkan sebagian kaum yang lain dengannya pula”. (HR.
Muslim).
Shofwan bin asal al-muradi berkata:
Aku pernah datang menemui Rasulullah, maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku
datang untuk menuntut ilmu”. Beliau pun menjawab, “Selamat datang, wahai
penuntut ilmu. Sesungguhnya penuntut ilmu diliputi oleh para malaikat dan
mereka menaunginya dengan sayap-sayap mereka. Kemudian sebagian mereka
(malaikat) menaiki sebagian yang lain sampai ke langit dunia karena mencintai
apa yang mereka lakukan”. (LIhat Akhlaq al-Ulama, hal. 37)
Nabi shallallahu alaihi walsallam
bersabda, “Sesunguhnya ALLAH tidak akan mencabut ilmu itu secara tiba-tiba dari
pada manusia akan tetapi ALLAAH mencabut ilmu itu dengan cara mewafatkan para
ulama. Sampai-sampai apabila tidak tersisa lagi orang alim maka orang-orang pun
mengangkat pemimpin-pemimpin dari kalangan orang yang bodoh. Mereka pun ditanya
dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan menyesatkan”. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Ibnul Qayyim berkata, “…. Kebutuhan kepada
ilmu diatas kebutuhan kepada makanan, minuman bahkan diatas kebutuhan kepada
nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah
kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya
kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya
sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan
dirinya jauh lebih jelek daripada seekor keledai. Bahkan, jauh lebih buruk
daripada binatang di sisi ALLAH, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih
rendah daripada dirinya ketika itu”. (Lihat al-ilmu syarafuhu wa fadhluhu, hal.
96).
Imam Ibnul Qayyim juga berkata, “ALLAH
menjadikan ilmu bagi hati laksana air hujan bagi tanah. Sebagaimana tanah/bumi
tidak akan hidup kecuali dengan curahan air hujan, maka demikian pula tidak ada
kehidupan bagi hati kecuali dengan ilmu”. (Lihat al-ilmu syarafuhhu wa
fadhluhu, hal. 227).
Imam Al-auza’I berkata, “Ilmu yang
sebenarnya adalah apa yang datang dari para sahabat Muhammad. Ilmu apapun yang
tidak berada diatas jalan itu maka pada hakikatnya itu bukanlah ilmu”. (Lihat
Da’aim minhaj an nubuwwah, hal. 390-391).
Ibnu Rajab al-hanbali berkata,”Ilmu
tidak ukur semata-mata dengan banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan. Akan
tetapi ia adalah cahaya yang ditanamkan kedalam hati. Dengan ilmu itulah
seorang hamba bisa memahami kebenaran. Dengannya pula seorang hamba bisa
membedakan antara kebenaran dengan kebatilan. Orang yang benar-benar berilmu
akan bisa mengungkap ilmunya dengan kata-kata yang ringkas dan tepat sasaran”.
(Lihat Qowa’id fi’at Ta’amul ma’al ulama, hal. 39)
Ibnu Mas’ud berkata kepada para
sahabat, “Sesungguhnya kalian sekarang ini berada di masa para ulamanya masih
banyak dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang suatu masa setelah kalian
dimana tukang ceramahnya banyak namun ulamanya amat sedikit”. (Lihat Qowa’id fi
at-Ta’amul ma’al ulama, hal.40)
Imam Ibnu a’rabi berkata, “seorang
yang berilmu tidak dikatakan sebagai alim robbani sampai dia menjadi orang yang
benar-benar berilmu, mengajar ilmunya dan juga mengamalkannya”. (Lihat Fath
al-bari,1/197). Lebih daripada itu, ahli ilmu yang sejati adalah yang selalu
merasa takut kepada ALLAH. ALLAH Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya yang benar-benar merasa takut
kepada ALLAH diantara hamba-hamba-NYA hanyalah orang-orang yang berilmu”. (QS.
Fathir; 28). Karena ilmu dan rasa takutnya kepada ALLAH, maka para ulama
menjadi orang-orang yang paling jauh dari hawa nafsu dan paling mendekati
kebenaran sehingga pendapat mereka layak diperhitungkan dalam kacamata syariat
islam. (Lihat Qowa’id fi at-ta’amul ma’al ulama, hal. 52).
Masruq berkata, “sekadar dengan
kualitas ilmu yang dimiliki seseorang maka sekadar itulah rasa takutnya kepada
ALLAH. Dan sekadar dengan tingkat kebodohannya maka sekadar itulah hilang rasa
takutnya kepada ALLAH”. (Lihat Syarh shahih al-bukhari).
Sa’id bin Jubair berkata, “Sesungguhnya
rasa takut yang sejati itu adalah kamu takut kepada ALLAH sehingga menghalangi
dirimu dari berbuat maksiat. Itulah rasa takut. Adapun dzikir adalah sikap taat
kepada ALLAH. Siapa pun yang taat kepada ALLAH maka dia telah berdzikir kepada-NYA.
Barang siapa yang tidak taat kepada-NYA maka dia bukanlah orang yang
benar-benar berdzikir kepada-NYA, meskipun dia banyak membaca tasbih dan
tilawah Al-Quran”. (Lihat Sittu durar min Ushul ahli al-atsar, hal. 31)
Ibnu Wahb menceritakan, suatu saat
Abud Darda berkata: Aku tidak takut apabila kelak ditanyakan kepadaku, “Hai
Uwaiwir, apa yang sudah kamu ilmui?”. Namun, aku khawatir jika ditanyakan
kepadaku, “Apa yang sudah kamu amalkan dari ilmu yang sudah kamu ketahui?”. Karena
ALLAH tidak memberikan ilmu kepada seseorang selama dia hidup di dunia
melainkan pasti menanyainya pada hari kiamat”. (Lihat Syarh shahih al-bukhari
karya Ibnu Baththal, 1/136).
Waki bin al-jarrah berkata, “Barang
siapa menimba ilmu hadis sebagaimana
datangnya apa adanya maka dia adalah pembela sunnah. Dan barang siapa yang
menimba ilmu hadis untuk memperkuat pendapatnya semata maka dia adalah pembela
bid’ah”. (Lihat Mukadimah Tahqiq kitab az-zuhd karya Imam Waki, hal. 69).
Sa’ad bin Ibrahim pernah ditanya;
siapakah yang paling fakih (paham agama) diantara ulama di Madinah?. Maka beliau
menjawab, “Yaitu orang yang paling bertakwa diantara mereka”.(Lihat Ta’liqat
Risalah lathifah, hal. 44). Ibnus Samak berkata, “Wahai saudaraku, betapa
banyak orang yang menyuruh orang lain untuk ingat kepada ALLAH sementara dia
sendiri melupakan ALLAH. Betapa banyak orang yang menyuruh orang lain takut
kepada ALLAH akan tetapi dia sendiri lancing kepada ALLAH. Betapa banyak orang
yang mengajak ke jalan ALLAH sementara dia sendiri justru meninggalkan ALLAH. Dan
betapa banyak orang yang membaca kitab ALLAH sementara dirinya tidak terikat
sama sekali dengan ayat-ayat ALLAH. Wasallam “. (Lihat Ta’thirul anfas, hal.
570).
Sufyan bin uyainah mengatakan, “barang
siapa yang rusak diantara ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan
dengan orang Nasrani. Barang siapa yang rusak diantara ahli ilmu kita maka pada
dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi”. Ibnul Qoyyim mengatakan, “Hal
itu dikarenakan orang Nasrani beribadah tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi
mengetahui kebenaran akan tetapi mereka justru berpaling darinya”. (Lihat
Iqhatsat al-lahfan, hal.36)
Imam Ibnul Qoyyim berkata, “…
seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya ALLAH Yanga Maha Suci
tidak akan mencela para pendeta ahli kitab. Dan jika seandainya amalan bisa
bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya ALLAH juga tidak akan mencela
orang-orang munafik”. (Lihat al-fawa’id, hal. 34).
Sufyan pernah ditanya, “Menurut ilmu
yang lebih kau sukai ataukah beramal?” . Beliau pun menjawab, “Sesungguhnya
ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menurut ilmu dengan
dalih untuk focus beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan dalih untuk focus menuntut
ilmu”. (Lihat Tsamrat al-ilmi al-amal, hal. 44-45).
Abu abdillah ar-rudzabari berkata,”Barang
siapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu,
maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barang siapa yang berangkat
menimba ilmu dalam rangka ingin mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun
akan bermanfaat baginya”. (Lihat al-muntakhab min kitab az-zuhd wa ar-raqaa’iq,
hal. 71).
Yusuf bin al-husain menceritakan;
aku bertanya kepada Dzun Nun tatkala perpisahanku dengannya, “Kepada siapakah
aku duduk/berteman dan belajar?”. Beliau menjawab, “Hendaknya kamu duduk
bersama dengan orang yang dengan melihatnya akan mengingatkan dirimu kepada
ALLAH. Kamu memiliki rasa segan kepadanya di dalam hatimu. Orang yang
pembicaraannya bisa menambah ilmumu. Orang yang tingkah lakunya membuat mu
semakin zuhud kepada dunia. Bahkan, kamu pun tidak mau bermaksiat kepada ALLAH
seelama kamu sedang berada di sisinya. Dia memberikan nasehat kepadamu dengan
perbuatannya, dan tidak menasehatimu dengan ucapannya semata”. (Lihat
al-muntakhab min kitab az-zuhd wa ar Raqaa’iq, hal. 71-72).
Bertakwalah, Wahai Para Penimba
Ilmu!
ALLAH Ta’ala berfirman yang artinya,
“Wahai orang-orang yang beriman, jika
kalian bertakwa kepada ALLAH niscaya ALLAH akan menjadikan untuk kalian furqan,
menghapuskan dosa-dosa kalian dan mengampuninya untuk kalian. ALLAH lah pemilik
keutamaan yang sangat besar”. (QS. Al-Anfal; 29).
Ciri orang yang bertakwa itu adalah
orang-orang yang menghiasi dirinya dengan aqidah shahih dan amal shalih, baik
amal batin maupun amal lahiriyah. Sebagaimana telah ditegaskan oleh ALLAH dalam
berfirman yang artinya, “Yaitu
orang-orang yang beriman terhadap perkara gaib, mendirikan sholat, dan
menyisihkan infak dari sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan orang-orang
yang berriman terhadap apa yang diwahyukan kepada Nabi-Nabi sebelummu. Dan terhadap
akhirat mereka pun menyakininya”. (QS. Al-Baqarah; 3-4).
Hakikat iman itu sendiri adalah
membenarkan secara pasti terhadap segala yang diberitakan oleh para Rasul, yang
di dalam pembenaran itu telah terkandung ketundukan anggota badan terhadap
ajaran mereka. Memang, yang menjadi ukuran utama keimanan bukanlah keyakinan
terhadap perkara yang terjangkau oleh indera. Sebab hal itu tidaklah membedakan
antara orang yang muslim dengan yang kafir. Sesungguhnya yang menjadi karakter
katakwaan yang paling utama adalah iman terhadap perkara gaib; sesuatu yang
tidak bisa kita lihat secara langsung dan tidak kita saksikan”. (Lihat Taisir
al-karim ar-rahman).At-Tauhid: Hakikat Dan Buah Ilmu, Sebuah Rahasia Kejayaan
Wa shallallahu ala Nabiyyina
Muhammadin wa ala alihi wasallam. Walhamdulillahi Rabbil’alamin.
No comments:
Post a Comment