Secara bahasa ibadah bermakna
perendahan diri dan ketundukan (lihat Fath al Majid, hal.17). Oleh sebab itu
orang arab menyebut jalan yang biasa dilalui orang dengan istilah thariq
mu’abbad (lihat Tafsir Al-Quran al azhim, 1/34). Yaitu jalan yang telah
dihinakan, karena telah banyyak diinjak-injak oleh telapak kaki manusia (lihat
al-irsyad ila shahih al-I’tiqad, hal. 34). Sehingga, ibadah bisa diartikan
dengan perendahan diri, ketundukan dan kepatuhan (lihat at-tanbihat al-mukhtasharah
syarh al-wajibat, hal.28)
Secara terminology, ada beberapa
definisi yang diberikan oleh para ulama tentang makna ibadah, yang pada
hakikatnya semua definisi itu saling melengkapi. Diantaranya mereka menjelaskan
bahwa ibadah adalah ketaatan kepada ALLAH dengan melaksanaka
perintah-perintah-NYA yang disampaikan melalui lisan para rasul-NYA (lihat fath
al-majid syarh kitab at-tauhid, hal. 17). Syaikh as-sadi juga menerangkan bahwa
ibadah itu mencakup ketundukan dalam melaksanakan perintah ALLAH dan menjauhi
segala larangan-larangan ALLAH, serta membenarkan berita yang dikabarkan-NYA
(lihat Taisir al-karim ar-rahman, hal.45)
Ibnu Juraij mengatakan bahwa ibadah
kepada ALLAH artinya adalah mengenal ALLAH (lihat tafsir al-quran al-azhim,
7/327). Yang dimaksudkan adalah mengenal ALLAH dengan mentauhidkan ALLAH.
Sebagaimana disebutkan dalam riwayat tentang perintah Nabi shallallahu alaihi
wasallam kepada Mu’adz sebelum keberangkatannya ke Yaman. Beliau bersabda,
“Hendaklah yang pertama kali kamu ajak kepada mereka adalah supaya mereka
beribadah kepada ALLAH azza wa jalla, kemudian apabila mereka sudah mengenal
ALLAH…”(HR. Bukhari dan Muslim)
Sebagian ulama yang lain mengatakan
bahwa ibadah adalah puncak perendahan diri yang dibarengi dengan puncak kecintaan.
Imam Ibnu Katsir berkata, “Menurut pengertian syari’at, ibadah itu adalah suatu
ungkapan yang memadukan antara kesempurnaan rasa cinta, ketundukan dan rasa
takut” (Tafsir al-quran al-azhim, 1/34). Syaikh Shalih al-fauzan berkata,
“Sebagian ulama mendefinisikan ibadah sebagai kesempurnaan rasa cinta yang
disertai kesempurnaan sikap tunduk.”(lihat al-irsyad ila shahih al-I’tiqad,
34).
Syaikh shalih al-fauzan menegaskan,
“Ibadah yang diperintahkan itu harus mengandung unsur perendahan diri dan
kecintaan. Ibadah ini mengandung tiga pilar; cinta, harap dan takut. Ketiga
unsure ini harus berpadu. Barang siapa yang hanya bergantung kepada salah satu
unsure saja maka dia belum dianggap beribadah kepada ALLAH dengan
sebenarnya.”(al-irsyad ila shahih al-I’tiqad, 35)
Ibadah juga diartikan dengan tauhid.
Sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang dibawakan oleh imam Ibnu Katsir dari
Ibnu Abbas mengenai maksud firman ALLAH yang artinya, “Wahai umat manusia
beribadahlah kepada Rabb kalian.”(QS. Al-Baqarah; 21). Beliau menjelaskan,
“Artinya tauhidkanlah Rabb kalian…”(tafsir al-quran al-azhim, 1/75). Didalam
kitabnya al-ubudiyah (lihat al-ubudiyah,6), syaikh Islam Ibnu Taimiyah
menjelaskan bahwa ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai
ALLAH, berupa perkataan atau perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi
(lihat mawa’izh syaikhul islam ibnu taimiyah). Dari sini, maka ibadah itu
mencakup perkara hati/batin dan juga perkara lahiriyah. Sehingga seluruh ajaran
agama itu telah tercakup dalam istilah ibadah (lihat al-irsyad ila shahih
al-I’tiqad, 34)
Syaikh Muhammad bin shalih
al-utsaimin menerangka di dalam syarh tsalatsat al-ushul (lihat syarh Tsalatsat
al-ushul, 23) bahwa pengertian ibadah bisa dirangkum sebagai berikut; suatu
bentuk perendahan diri kepada ALLAH yang dilandasi dengan rasa cinta dan
pengagungan dengan cara melaksanakan perintahNYA dan menjauhi segala
laranganNYA, sebagaimana yang dituntunkan dalam syariatNYA.
Dari pengertian-pengertian diatas
paling tidak kita dapat menarik satu kesimpulan penting bahwa seesungguhnya
ibadah itu ditegakkan diatas rasa cinta dan pengagungan. Rasa cinta akan
melahirkan harapan dan tunduk kepada perintahNYA sedangkan pengagungan akan
menumbuhkan rasa takut dan mematuhi laranganNYA. Selain itu, kita juga bisa
mengerti bahwa pelaksana ibadah tidak bisa dilakukan secara sembarangan, namun
haris mengikuti tuntunan para rasul alaihimush sholatu was salam. Dalam konteks
sekarang, maka kita semua harus mengikuti petunjuk dan ajaran Nabi shallallahu
alaihi wasallam, nabi dan rasul yang terakhir.
Ibadah akan menjadi benar dan
diterima di sisi ALLAH jika memenuhi 2 syarat; ikhlas dan ittiba (Mazhahiru
dha’fil aqidah fi hadzal ash wa thuruqu illajha). Sebagian ulama menambahkan
syarat ketiga yaitu aqidah yang benar, sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Zaid
bin Hadi al-Madhali dalam abraz al fawa’id syarh arba al-qawaid.
Ikhlas artinya ibadah itu hanya
diperuntukkan kepada ALLAH dan tidak dipersekutukan dengan selain-NYA. Ini
merupakan kandungan dari syahadat laa ilaaha illallaah. Lawan dari ikhlas
adalah syirik, riya dan sum’ah. Riya adalah beribadah karena ingin dilihat
orang, sedangkan sum’ah adalah beribadah karena ingin didengar orang.
Ittiba’ maksudnya adalah setia
dengan tuntunan Nabi shallallahu alaihi wasallam, tidak mereka-reka tata cara
ibadah yang tiada ada tuntunannya. Ini merupakan kandungan dari syahadat anna
muhammadar rasulullah. Lawan dari ittiba’ adalah ibtida’ yaitu membuat
perkara-perkara baru dalam agama (al-bid’ah dhawabithuha wa atsaruha as-sayyi fi
al ummah)
ALLAH Ta’ala berfirman yang artinya,
“Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia
melakukan amal shalih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabb-nya
dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi; 10). Imam Ibnu Katsir menerangkan bahwa
amal salih ialah amalan yang sesuai dengan syariat ALLAH sedangkan tidak
mempersekutukan ALLAH maksudnya adalah amalan yang diniatkan untuk mencari
wajah ALLAH, inilah dua rukun amal yang akan diterima di sisi-NYA (lihat tafsir
al-quran al-azhim, 5/154) dan al-qaea’id wa al-ushul aj-jami’ah wa al-furuq wa
at-taqasim al-badi’ah an-nafiah, hal 40-42)
Sebagaimana orang tidak ikhlas
amalannya tidak diterima, demikianpula orang yang tidak ittiba’ maka amalannya
pun tidak diterima. Apalagi orang yang beribadah tanpa keikhlasan dan tanpa
ittiba’. Ikhlas jika dikerjakan karena ALLAH sedangkan benar jika dikerjakan
dengan mengikuti sunnah Nabi. Bukan dengan cara-cara yang tidak ada tuntunannya
yang merupakan tata cara beragama yang diada-adakan dan menyaingi syariat,
dimaksudkan dengan untuk berlebih-lebihan dalam ibadah kepada ALLAH Ta’ala. Hal
ini memberikan pelajaran berharga kepada kita bhwa syariat islam ini mengatur
niat dan cara. Niat yang baik juga harus diwujudkan dengan cara dan sarana yang
baik pula. Islam tidak mengenal kaidah ala yahudi; tujuan menghalalkan segala
cara.
Dengan demikian untuk beribadah
dengan baik, seorang muslim harus memadukan antara shihatul fahm (kelurusan
pemahaman). Oleh sebab itu Ibnu Qayyim menyatakan bahwa kedua hal shihhatul
irodah dan shihhatul fahm merupakan anugerah dan nikmat terbesar yang diberikan
ALLAH kepada seorang hamba. Ketulusan niat terwujud di dalam tauhid dan
keikhlasan sedangkan kelurusan pemahaman terwujud dalam mengikuti sunnah Nabi
shallallahu alaihi wasallam. Sehingga amat wajar jika para ulama sangat
menekankan kedua pokok yang agung ini. Sampai-sampai diriwayatkan bahwa imam
Ahmad pernah berdoa, “Allahumma ahyinaa alal islam, wa amitnaa alas sunnah.”
Artinya; “Ya ALLAH, hidupkanlah kami diatas islam dan matikalah diatas sunnah.”At Tauhid: Mengenal Hakikat Ibadah
No comments:
Post a Comment