ALLAH ta’ala berfirman yang artinya,
“Dan tidaklah kewajiban Rasul melainkan sekadar menyampaikan.”(QS. An nuur;
54). ALLAH ta’ala juga berfirman yang artinya, “Apakah ada kewajiban bagi Rasul
selain memberikan keterangan yang gambling?”(QS. An nahl;35). ALLAH ta’ala
berfirman lagi, “Dan tidaklah Kami mengutus seorang Rasul pun kecuali dengan
bahasa kaumnya, agar dia menjelaskan wahyu bagi mereka. Sehingga ALLAH berhak
menyesatkan orang yang dikehendaki-NYA serta memberikan petunjuk kepada orang
yang dikehendaki-NYA”(QS. Ibrahim; 4).
Dan ayat-ayat yang berbicara tentang
hal ini sangat banyak jumlahnya. Bahkan generasi terbaik umat ini pun telah
turut serta mempersaksikan bahwa beliau shallallahu alaihi wasallam benar-benar
telah menunaikan amanah dan menyampaikan risalah dengan sempurna dan gambling.
Sehingga ajaran islam telah terang benderang, malamnya sebagaimana siangnya,
tiada yang menyimpang darinya kecuali orang yang binasa. Beliau telah meminta
persaksian para sahabat dalam sebuah perhelatan akbar pada saat haji wada’ di
tengah padang Arafah. Dan para sahabat pun mengiakan dan mempersaksikannya.
Barang siapa yang mendakwakan bahwa ada salah satu sendi ajaran agama apalagi
itu termasuk prinsip dan landasanya kemdian hal itu tidak diterangkan oleh Nabi
dengan keterangan yang gambling dan sempurna maka pada hakikatnya dia telah
berdusta atas nama beliau shallallahu alaihi wasallam, wallaahul musta’an
(Syarh aqidah thahawiyah, hal 161-163).
Sabda Nabi Adalah Wahyu
Abdullah bin amr mengatakan, “Dahulu
aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam karena aku ingin menghafalkannya. Maka orang-orang quraisy pun
menghalang-halangi ku. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya kamu telah menulis
segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
adalah manusia biasa. Beliau terkadang berbicara dalam keadaan marah.” Maka aku
menghentikan diri dari menulis hadis-hadis Nabi. Kemudian kejadian itu aku
laporkan kepada Rasul. Maka beliau bersabda, “Tulislah! Demi Zat yang jiwaku
berada di tangan-NYA. Tidaklah keluat dari diriku melainkan al haq
(kebenaran).” ( al albani)
Firman ALLAH yang artinya, “Dan
ALLAH telah menurunkan kepadamu (Muhammad): al kitab dan al hikmah dan Dia
telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan karunia ALLAH
adalah sangat besar atasmu.” (QS. An nisaa; 113). Imam syafi’I berkata, “Yang
ku dengar dari keterangan para ulam al-quran, mereka mengatakan bahwa al hikmah
adalah sunnah (hadis) Rasulullah.”(Ar risalah, 78)
Tidak Ada Iman Tanpa Ketundukan
ALLAH ta’ala
berfirman yang artinya, “Demi Tuhanmu, sekali-kali mereka tidaklah beriman
sampai mereka berhakim kepada mu dalam segala yang mereka perselisihkan
kemudian mereka tidak mendapati rasa berat di dalam diri mereka atas apa yang
kamu putuskan dan mereka pun menerimanya dengan sempurnanya.”(QS. An nisa; 65).
Syaikh Muhamamd bin shalih al
utsaimin mengatakan, “Artinya merekalah tidak beriman hingga mau menjadikan
engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam menyelesaikan perselisihan yang terjadi
diantara mereka…” beliau jelaskan, “Dan itu artinya samapi mereka mau
menjadikan engkau saja (Muhammad) sebagai pemberi keputusan dalam menyelesaikan
persengketaan yang ada diantara mereka, dalam urusan-urusan agama maupun
urusan-urusan dunia. Dalam urusan agama misalnya apabila ada dua orang
berselisih dalam menentukan hukum suatu permasalahan syariat. Seorang diantara
mereka berdua berkat, “Itu adalah haram.” Sedangkan orang kedua berkata, “Itu halal”.
Maka untuk mencari keputusan hukumnya adalah kepada Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam. Maka tidaklah seorang pun diantara mereka berdua yang
berselisih tadi dinyatakan beriman sampai mau berhakim kepada Rasulullah.
Demikian pula seandainya orang-orang berselisih dalam urusan dunia diantara
mereka..” beliau melanjutkan, “Yang jelas seseorang tidaklah dinyatakan beriman
dengan benar hingga pencarian keputusannya dalam urusan agama maupun dunia
adalah kepada keputusan Rasulullah. Kalau ada yang bertanya, “Bagaimanakah
berhakim kepada Rasul sesudah beliau wafat?” Syaikh al utsaimin mengatakan,
“Maka jawabnya ialah berhakim kepada beliau sesudah wafatnya ialah dengan cara
berhakim kepada sunnahnya…” (Syarh riyadhusu shalihin, 1/587)
Beliau juga menjelaskan bahwa berdasarkan ayat di
atas ada 3 syarat yaitu: pertama, berhakim kepada Nabi shallallahu alaihi
wasallam. Kedua, dia tidak boleh merasa sempit di dalam hatinya terhadap
keputusan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Ketiga, dia harus tunduk menerima
sepenuhnya dan pasrah secara total terhadap beliau. Beliau mengatakan, “Maka
dengan ketiga syarat inilah dia bisa menjadi mikmin. Apabila syarat-syarat
tersebut tidak terpenuhi maka bisa jadi dia keluar dari keimanan secara
keseluruhan atau bisa juga menjadi menyusut keimanannya, wallaahul muwaffiq.”
(Syarh riyadhush shalihin, I/589)
Kami Dengarkan dan Kami Taati
ALLAH ta’ala berfirman yang artinya,
“Sesungguhnya ucapan orang-orang yang beriman apabila diajak untuk kembali
kepada ALLAH dan Rasul-NYA agar Rasul itu memberikan keputusan hukum diantara
mereka hanyalah dengan mengatakan, kami mendengar dan kami taat. Dan hanya
merekalah orang-orang yang berbahagia.” (QS. An nuur; 51)
ALLAH ta’ala berfirman yang artinya,
“Dan tidaklah pantas bagi seorang mukmin maupun mukminah apabila ALLAH dan
Rasul-NYA telah memutuskan suatu perkara kemudian mereka memiliki pilihan lain
dalam urusan mereka.”(QS. Al ahzab; 36)
Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Ayat
ini berlaku umum untuk semua urusan. Yaitu apabila ALLAH dan Rasul-NYA telah
menetapkan sebuah keputusan maka tidak diperbolehkan bagi siapa pun untuk
menyelisihi hal itu. Dan tidak ada lagi pilihan bagi siapa pun disini artinya
agama tidak membiarkan dia bebas memilih antara mengikuti Rasul atau tidak,
tidak ada lagi pendapat atau perkataan yang lain…” (Tafsir al qur’an al azhim).
Wallahu a’lam. At-Tauhid: Mengokoh Pijakan Keislaman
No comments:
Post a Comment