Khirasy bin jubair berkata, “Aku
melihat seorang pemuda di mesjid melempar kerikil dengan jarinya, karena aku
mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasalam melarang perbuatan itu.”
Kemudian pemuda itu lalai dan menyangka bahwa orang tua tadi tidak memperhatikannya,
lalu dia melempar lagi. Maka orang tua itupun berkata kepadanya,”Aku sampaikan
kepadamu bahwa aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasalam melarang
perbuatan itu, kemudian engkau melakukannya. Demi ALLAH, aku tidak akan
menghadiri jenazah mu, aku tidak akan menjengukmu jika engkau sakit dan aku
tidak akan berbicara kepadamu selamanya.” (Ad-darimi, 1/127)
Imam Asy-syafii berkata kepada
seseorang, “Apa saja yang mereka sampaikan kepadamu dari Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam maka ambilah. Akan tetapi, apa saja yang mereka katakana dengan
pendapat mereka sendiri, maka buanglah di tempat pembuangan kotoran.” (Ad
darimi, 1/72)
SIKAP PERTENGAHAN DALAM BERAGAMA
Sikap pertengahan dalam beragama
adalah sikap tidak ghuluw (ekstrem) dalam beragama, yaitu melewati batasan yang
ditetapkan oleh ALLAH, namun juga tidak kurang dari batasan yang ditetapkan
oleh ALLAH Ta’ala. Bersikap pertengahan dalam beragama yaitu dengan meneladani
jalan hidup Nabi shallallahu alaihi wasallam. Sedangkan sikap ghuluw adalah
melebihi dari apa yang beliau ajarkan. Dan taqshiir adalah yang melakukan
kurang dari apa yang beliau ajarkan.
Contohnya seseorang mengatakan,
“Saya ingin sholat malam dan tidak tidur setiap hari, karena shalat adalah
ibadah yang paling utama maka saya ingin sepanjang malam saya dalam keadaan
shalat.” Maka kita katakana bahwa sikap ini adalah sikap ghuluw dalam beragama
dan tidak benar. Hal yang semisal ini pun pernah terjadi di masa Nabi
shallallahu alaihi wasallam.
“Sekelompok orang berkumpul membicarakan
sesuatu. Lelaki pertama berkata, “Saya akan shalat malam dan tidak tidur.” Yang
lain berkata, “Saya akan berpuasa dan tidak berbuka.” Yang ketiga berkata,
“Saya tidak akan menikah.” Perkataan mereka ini sampai kepada Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam. Kemudian beliau berkata, “Kenapa ada orang-orang
yang begini dan begitu? Aku shalat malam tapi juga tidur, aku puasa tapi juga
berbuka dan aku menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku, maka dia
tidak diatas jalanku.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan al muqashir (Orang yang
meremehkan) adalah orang yang berkata, “Saya tidak butuh shalat sunnah, saya
cukup shalat wajib saja.” Bahkan terkadang mereka meremehkan perkara-perkara
yang wajib. Inilah al muqashir. Adapun al mu’tadil (Orang yang bersikap
pertengahan) adalah orang yang menerapkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam dan para khulafaar rasyidin.
Contoh lain, ada tiga orang yang
sedang membahas seorang yang fasiq didepan mereka. Yang pertama mengatakan, “Saya
tidak akan member salam kepada orang fasiq ini. Akan saya boikot dia, saya
jauhi dan saya tidak mau bicara dengannya.” Orang kedua mengatakan, “Saya akan
berjalan bersama orang fasiq ini, bermuka cerah dihadapannya, mengundangnya ke
rumah saya, saya pun memenuhi undangannya dan sikap saya terhadapnya sama
seperti sikap saya terhadap orang yang shalih.” Orang ketiga mengatakan, “Orang
fasiq ini, saya benci dia karena perbuatan fasiqnya. Namun saya tidak akan
memboikot dia kecuali jika memang diboikot ia menjadi lebih baik. Namun kalau
boikot saya itu malah menambah kefasikannya, maka saya tidak boikot dia.”
Kami katakana, orang yang pertama
adalah ekstrim kanan (ghalin) sedangkan orang yang kedua adalah ekstrim kiri
(muqashir) dan yang ketiga adalah orang yang pertengahan (mutawashith). Dengan
demikian hal ini terjadi dalam seluruh perkara ibadah dan muamalah. Yaitu
orang-orang pasti termasuk salah sattu dari 3 keadaan ini, muqashir, ghalin dan
mutawashith. At-Tauhid: Mengagungkan Nash-Nash Syar'iyah
No comments:
Post a Comment