Saturday, July 26, 2014

At Tauhid: Kobarkan Semangat Ramadhan





            Ramadhan telah berlalu dan momentum intropeksi diri pun insyallah telah dilakukan. Semoga kita mendapatkan pengampunan dari ALLAH Ta’ala di bulan ramadhan lalu, sebagaimana yang tersebut dalam dosa yang diiucapkan oleh malaikat Jibril dan diamini oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan ramadhan kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni oleh ALLAH Ta’ala.”(HR. Ahmad)
            Oleh karena itu, mohonlah dengan sungguh-sungguh kepada ALLAH Ta’ala agar Dia menerima amal kebaikan kita di bulan yang penuh berkah itu dengan mengabulkan segala doa dan permohonan ampun kita kepada-NYA, sebagaimana sebelum datangnya bulan ramadhan kita berdoa kepada-NYA agar ALLAH Ta’ala mempertemukan kita dengan bulan ramadhan dalam keadaan hati kita dipenuhi dengan keimana dan pengharapan akan ridha-NYA. Imam Mu’alla bin al-fadhl berkata, “Dulunya para salaf berdoa kepada ALLAH selama enam bulan agar ALLAH mempertemukan mereka dengan bulan ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada-NYA selama enam bulan berikutnya agar Dia menerima amal-amal shalih yang mereka kerjakan.” (Dinukil oleh imam ibnu rajab al-hambali)
            Lalu muncul satu pertanyaan besar dengan sendirinya; apa yang tertinggal dalam diri kita setelah ramadhan berlalu? Bekas-bekas kebaikan apa yang terlihat pada diri kita setelah keluar dari madrasah bulan puasa? Apakah bekas-bekas itu hilang seiring dengan berlalunya bulan itu? Apakah amal-amak kebaikan yang terbiasa kita kerjakan di bulan itu pudar setelah puasa berakhir?
            Imam bisyr bin al-haris al hafi pernah ditanya tentang orang-orang yang hanya rajin dan sungguh-sungguh beribadah di bulan ramadhan, maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang sangat buruk karena mereka tidak mengenal hak ALLAH kecuali hanya pada bulan ramadhan, hamba ALLAH yang shaleh adalah yang rajin dan sungguh-sungguh beribadah dalam setahun penuh.”(Dinukilkan oleh imam ibnu rajab al hambali)
            Demi ALLAH, inilah hamba ALLAH Ta’ala yang sejati, yang selalu menjadi hamba-NYA di setiap waktu dan tempat, bukan hanya di waktu dan tempat tertentu. Imam Asy syibli pernah ditanya; mana yang lebih utama, bulan rajab atau bulan sya’ban? Maka beliau menjawab, “Jadilah kamu seorang rabbani (hamba ALLAH yang selalu beribadah kepada-NYA disetiap waktu dan tempat) dan janganlah kamu menjadi seorang syabani (orang yang hanya beribadah kepada-NYA di bulan syaban atau bulan tertentu lainnya)” (Dinukuil oleh imam ibnu rajab al hambali)
            Maka sebagaimana kita membutuhkan dan mengharapkan rahmat ALLAH Ta’ala di bulan ramadhan, bukanlah kita juga tetap membutuhkan dan mengharapkan rahmat-NYA di bulan-bulan lainnya? Bukankah kita semua termasuk dalam firman-NYA yang artinya, “Hai manusia, kalian semua buth kepada rahmat ALLAH, dan ALLAH Dia-lah yang Maha Kaya Lagi Maha Terpuji.” (QS. Fathir; 15)
            Inilah makna istiqomah yang sesungguhnya dan inilah pertanda diterimanya amal sholeh seorang hamba. Imam ibnu rajab berkata, “Sesungguhnya ALLAH jika Dia menerima amal seorang hamba maka Dia akan member taufik kepada hamba-NYA tersebut untuk beramal sholeh setelahnya, sebagaimana ucapan salah seorang dari ulama terdahulu: ganjaran perbuatan baik adalah taufik dari ALLAH ta’ala untuk melakukan perbuatan baik setelahnya. Maka barang siapa yang mengerjakan amal kebaikan, lalu dia mengerjakan amal kebaikan lagi setelahnya, maka itu merupakan pertanda diterimanya amal kebaikannya yang pertama oleh ALLAH ta’ala, sebagaimana barang siapa yang mengerjakan amal kebaikan, lal dia mengerjakan perbuatan buruk setelahnya, maka itu merupakan pertanda tertolaknya dan tak diterima amal kebaikan tersebt.”(latha iful ma’aarif, 311)
            Oleh karena itulah, ALLAH ta’ala mensyariatkan puasa enam hari di bulan syawal, yang keutamaannya sangat besar yaitu menjadikan puasa ramadhan dan puasa enam hari di bulan syawal pahalanya seperti puasa setahun penuh, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Barang siapa yang berpuasa di bulan ramadhan kemudian dia mengikutkannya dengan puas sunnah enam hari di bulan syawwal, maka dia akan mendapatkan pahala seperti puasa setahun penh.”(HR. Muslim)
            Disamping itu, juga untuk tujuan memenuhi keinginan hamba-hamba-NYA yang sholeh dan selalu rindu untuk mendekatkan diri kepada ALLAH ta’ala dengan puada dan ibadah-ibadah lainnya, karena mereka adalah orang-orang yang merasa gembira dengan mengerjakan ibadah puasa. Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bersabda, “Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan besar, kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika dia bertemu ALLAH.”(HR. al bukhari dan muslim)
            Inilah bentuk amal kebaikan yang paling dicintai oleh ALLAH dan Rasul-NYA. Rasullullah shallallhu alaihi wasalm bersabda, “Amal ibadah yang paling dicintai ALLAH ta’ala adalah amal yang terus-menerus dikerjakan meskipun sedikit.”(HR al Bukhari dan Muslim). Ummul m’minin Aisyah berkat, “Rasulullah shallallahu alaihi wasalam jika mengerjakan suatu amal kebaikan maka beliau akan menetapinya.”(HR Muslim)
            Inilah makna istiqomah setelah bulan ramadhan, inilah tanda diterimanya amal-amal kebaikan kita di bulan yang berkah itu, maka silahkan menilai diri kita sendiri, apakah kita termasuk orang-orang yang beruntung dan diterima amal kebaikannya atau malah sebaliknya. “Maka ambillah pelajaran dari semua ini, wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat.”(QS. Al Hasyr; 2)

Qadha Puasa Atau Puasa Syawwal Dahulu
            Sebagian kaum muslimin keliru dalam menyikapi puasa sunnah nan mulia yakni puasa syawal. Mereka lebih bersemangat menyelesaikan puasa syawwal daripada menunaikan hutang puasa mereka. Padahal puasa qadha adalah dzimmah (kewajiban) sedangkan puasa syawwal hanya amalan sunnah. Bagaimana sikap yang benar dalam menyingkapi masalah ini?
            Seharusnya yang dilakukan adalah puasa qadha dahulu lalu puasa syawwal. Karena jika kita mendahulukan puasa syawal dai qadha sama saja dengan mendahulukan yang sunnah dari wajib. Inilah yang tidak tepat. Lebih-lebih lagi hal ini menyebabkan orang yang melakukannya tidak akan mendapatkan keutamaan puasa 6 hari di bulan syawal sebagaimana disebut dalam hadis, “Barangsiapa yang berpuasa ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan syawwal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.”(HR. Muslim). Untuk mendapatkan keutamaan puasa setahun penuh, puada ramadhan haruslah diselesaikan secara sempurna, baru diikuti dengan puasa enam hari di bulan syawwal.
            Selain itu, qadha puasa berkaian dengan kewajiban, sedangkan puasa syawwal tidaklah demikian. Dan seseorang tidak mengetahui kapankah ia masih hidup dan akan mati. Oleh karena itu, wajib mendahulukan yang wajib dari sunnah. Sebagaimana dalam hadis qudsi juga disebutkan bahwa amalan wajib itu lebih utama dari sunnah, “Tidaklah hamba Ku mendekatkan diri pada-KU dengan amalan wajib hingga aku mencintainya.” (HR. Bukhari)
            Sa’id bin al musayyib berkata mengenai puasa sepuluj hari di bulan dzulhijjah, “Tidaklah layak melakukannya puasa sepuluh hari bulan dzulhijjah sampai memulainya terlebih dahulu dengan mengqodho puasa ramadhan.”(HR. Bukhari). Adapun riwayat Aisyah yeng menyebutkan, “Aku dahulu masih punya hutang puasa dan aku tidak mapu melunasinya selain pada bulan sya’ban.”(HR. Bukhari). Aisyah menunda qodho puasanya ini karena kesibukan beliau dalam mengurus Nabi shallallahu alaihi wasallam, sebagaimana dikatakan oleh Yahya dalam shahih bukhari. Keterangan diatas kami sarikan dari kitab “Ahkam Maa Ba’da Ash Shiyam”, hal 168 karya Syaikh Muhammad bin Rasyid Al Ghafiliy.At Tauhid: Kobarkan Semangat Ramadhan

No comments:

Post a Comment