Thursday, July 3, 2014

At Tauhid: Sutrah, Sunnah Yang Terlupakan






            Diantara sunnah mulai luntur di tengah kaum muslimin sekarang terkait ibadah shalat adalah menghadap sutrah ketika shalat. Mudah-mudahan penjelasan yang singkat ini dapat memberikan pencerahan kepada umat mengenai sutrah dalam shalat.
            Sutrah secara bahasa arab yang artinya apapun yang dapat menghalangi (lihat qams al muhith). Jadi sutrah adalah penghalang. Dalam teminologi ilm fiqih, sutrah yang artinya segala sesuatu yang berdiri di depan orang yang sedang shalat, dapat berupa tongkat, atau tanah yang disusun atau semacamnya untuk mencegah orang lewat di depannya. (Mausu’ah fiqhiyyah kuwaitiyyah, 3/176-177).
            Menhadap sutrah ketika shalat adalah hal yang disyariatkan. Banyak hadis yang mendasari hal ini diantaranya hadis Abu sa’id al khudri bahwa nabi shallallhu alaihi wasalam bersabda; “Jika seseorang mengerjakan sholat maka sholatlah dengan menghadap sutrah dan mendekatlah padanya.”(HR. Abu Daud). Juga hadis dari Sabrah bin ma’bad Al juhani, nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda; “Sutrah seseorang ketika shalat adalah anak panah. Jika seseorang diantara kalian shalat, hendaknya menjadikan anak panah sebagai sutrah.”(HR. Ahmad). Juga sabda beliau, “Janganlah sholat kecuali menghadap sutrah dan jangan biarkan seseorang lewat di depanmu, jika ia enggan dilarang maka perangilah (halangi dengan kuat) ia, karena sesungguhnya bersamanya ada qarin.” (HR. Ibnu Khuzaimah).
Hukum Menghadap Sutrah Ketika Shalat
            Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menghadap  sutrah ketika shalat dalam 4 pendapat:
1.      Wajib. Ini merupakan pendapat ibnu hazm, Asy Syaukani dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
2.      Sunnah secara mutlak. Ini merupakan pendapat syafi’yyah dan salah satu pendapat Imam Malik.
3.      Sunnah jika dikhawatirkan ada yang lewat. Ini merupakan pendapat Malikiyah dan Hanafiyyah.
4.      Sunnah bagi Imam dan Munfarid. Ini pendapat Hanabilah (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/178)
            Jika melihat beberapa hadis yang telah lalu tentang sutrah, disana digunakan lafadz perintah (shalatlah menghadap sutrah) dajn juga lafadz (bersutrahlah), yang pada asalnya menghasilkan hukum wajib karena hukum asal perintah adalah wajib kecuali terdapat qarinah (tanda-tanda) yang memalingkannya dari hukum wajib. Alasan ini yang dipegang oleh para ulama yang mewajibkan sutrah. Namun tidak wajibnya sutrah adalah pendapat jumhur ulama, bahkan sebagian ulama menukil ij’ma akan hal ini. Ibnu qudamah dalam al mughni mengatakan; “Kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang hukum mustahab (sunnah) mengenai penggunaan sutrah dalam shalat” (Al Mughni, 2/174). Mengenai validitas ijma Ibnu Qudamah dan ulama lain yang mengklaim ijma sunnahnya sutrah perlu dikaji lebih jauh, namun bukan dalam tulisan ini. Syaikh Muhammad bin shalih Al Utsaimain dalam syahrul mumthi (3/277) menyebutkan beberapa qarina yang menunjukkan tidak wajibnya shalat menghadap sunnah;
1.      Hadis Abu sa’id al Khudri, nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,”Jika salah satu dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia sutrah, maka perangilah halangi dengan kuat ia, karena sesungguhnya ia adalah setan.”(HR. Al Bukhari). Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang sholat terkadang menghadap sesuatu dan terkadang tidak menghadap apa pun. Karena konteks kalimat ini tidak menunjukkan bahwa semua orang di masa itu selalu shalat menghadap sutrah. Bahkan menunjukkan bahwa sebagian orang menghadap ke sutrah dan sebagian lagi tidak menghadap ke sutrah.
2.      Hadis Ibnu Abbas, “Rasulullah shallallahu alaihi wasalam pernah shalat di Mina tanpa menghadap ke tembok.”(HR. Al Bukhari)
3.      Hadis Ibn Abbas, “Rasulullah shallallahu alaihi wasalam pernah sholat di lapangan terbuka sedangkan dihadapan beliau tidak terdapat apa-apa.”(HR. Ahmad)
4.      Hukum asal tata cara ibadah adalah bara’at adz dzimmah (tidak adanya kewajiban)
            Mengenal hadis Ibnu Abbas yang ketiga ini diperselisihkan keshahihannya, karena di dalamnya terdapat perawi AL Hajjaj bin Arthah yang statusnya “shaduq katsiirul khata’ wat tadlis” (shaduq, banyak salah dan banyak melakukan tadlis) dan di dalamnya sanad Al Hajjaj pun melakukan an’anah. Namun hadis ini memilki jalan lain dalam Musnad Ahmad (5/11, 104)
Kesimpulan Hukum
            Selain hadis Ibnu Abbas ini, diperkuat juga dengan argument dari hadis Abu sa’id al khudri sebagaimana penjelasan yang disampaikan syaikh al utsaimin maka wallahu’alam yang rajah hukum menghadap sutrah ketika sholat adalah sunnah, tidak sampai wajib. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh jumhur ulama.
            Namun sunnahnya mengahadap sutrah ketika sholat itu berlaku imam dan munfarid karena para sahabat nabi mereka sholat bermakmm kepada nabi shallallahu alaihi wasallam namun tidak ada seorang pun dari mereka yang membuat sutrah (Syarhul mumthi, 3/278). Para fuqaha bersepakat bahwa sutrah imam itu sudah mencukupi untuk makmum, baik posisi makmum berada disisi maupun di belakang imam. Dan mereka juga bersepakat bahwa makmum tidak disunnahkan membuat strah (Mausu’ah fiqhiyyah kuwaitiyyah, 24/184)At Tauhid: Sutrah, SUnnah Yang Terlupakan

No comments:

Post a Comment