Monday, July 8, 2013

At-Tauhid: Setiap Ucapan Akan Masuk Catatan Amal



Setiap Ucapan Akan Masuk Catatan Amal
            Segala puji bagi ALLAH, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabat. Sebuah ayat menarik sekali untuk dikaji yang berisi pelajaran agar kita pintar-pintar menjaga lisan. Ayat tersebut terdapat dalam surat Qaaf tepatnya ayat 18. ALLAH Ta’ala berfirman yang artinya, “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada didekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir”. (QS. Qaaf; 18).

            Ucapan yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah yang diucapkan oleh manusia, keturunan Adam. Ucapan tersebut dicatat oleh malaikat yang sifatnya roqib dan atid yaitu senantiasa dekat dan tidak pernah lepas dari seorang hamba. Malaikat tersebut tidak akan membiarkan satu kalimat dan satu gerakan melainkan ia akan mencatatnya. Hal ini sebagaimana firman ALLAH Ta’ala yang artinya, “Padahal sesungguhnya bagi kamu ada malaikat-malaikat yang mengawasi pekerjaanmu, yang mulia di sisi ALLAH dan mencatat pekerjaan-pekerjaanmu itu, mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Infithar; 10-12).

Apakah Semua Perkataan Akan Dicatat?
            Tentang masalah ini para ulama ada dua pendapat. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang dicatat hanyalah yang bernilai pahala dan dosa. Namun jika kita melihat dari tekstual ayat, yang dimaksud ucapan dalam ayat tersebut adalah ucapan apa saja, sampai-sampai ucapan yang mubah sekalipun. Akan tetapi, untuk masalah manakah yang kena hukuman, tentu saja amalan yang dinilai berpahala dan dinilai dosa.
            Sebagian ulama yang berpendapat bahwa semua ucapan yang bernilai netral (tidak bernilai pahala atau dosa) akan masuk dalam lembaran catatan amalan, sampai-sampai punya sikap yang cukup hati-hati dengan lisannya. Cobalah kita saksikan bagaimanakah kisah dari Imam Ahmad ketika beliau merintih sakit.
            Imam Ahmad pernah didatangi oleh seseorang dan beliau dalam keadaan sakit. Kemudian beliau merintih kala itu. Lalu ada yang berkata kepadanya (yaitu Thowus, seorang tabi’in yang terkenal), “Sesungguhnya rintihan sakit juga dicatat oleh malaikat”. Setelah mendengar nasehat itu, Imam Ahmad langsung diam, dan beliau tidak merintih lagi. Beliau takut jika merintah sakit, rintihannya tersebut akan dicata oleh malaikat.
            Coba bayangkan bahwa perbuatan yang asalnya wajar-wajar saja ketika sakit, Imam Ahmad pun tidak ingin melakukannya karena beliau takut perbuatannya tadi walaupun dirasa ringan masuk dalam catatan malaikat. Oleh karena itu, beliau rahimahullah pun menahan lisannya. Barangkali saja rintihan tersebut dicatat dan malah dinilai sebagai dosa nantinya. Barangkali rintihan tersebut ada karena bentuk tidak sabar.
Mampukah Kita Selalu Memperhatikan Lisan?
            Sungguh nasehat yang amat bagus dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang seharusnya kita bisa resapi dalam-dalam dan selalu mengingatnya. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat”. (HR. Muslim).
            Intinya, penting sekali memperhatikan lisan sebelum berucap. An Nawawi menyampaikan dalam kitabnya Riyadhush Sholihin nasehat yang amat bagus, “Ketahuilah bahwa sepatutnya setiap orang yang telah dibebani berbagai kewajiban untuk menahan lisannya dalam setiap ucapan kecuali ucapan yang jelas maslahatnya. Jika suatu ucapan sama saja antara maslahat dan bahayanya, maka menahan lisan untuk tidak berbicara ketika itu serasa lebih baik. Karena boleh saja perkataan yang asalnya mubah beralih menjadi haram atau makruh. Inilah yang seringkali terjadi dalam keseharian. Jalan selamat adalah kita menahan lisan dalam kondisi”.
            Jika lisan ini benar-benar dijaga, maka anggota tubuh lisannya pun akan baik. Karena lisan adalah interpretasi dari apa yang ada dalam hati dan hati adalah tanda baik seluruh amalan lainnya. Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Bila manusia berada di waktu pagi, seluruh anggota badan akan patuh pada lisan. Lalu anggota badan tersebut berkata pada lisa; Takutlah pada ALLAH bersama kami, kami bergantung padamu. Bila engkau lurus kami pun akan lurus dan bila engkau bengkok (menyimpang) kami pun akan seperti itu”. (HR. Tirmidzi). Hadis ini pertanda bahwa jika lisan itu baik, maka anggota tubuh lainnya pun akan ikut baik.
            Semoga yang singkat ini dari kajian tafsir surat Qaaf bermanfaat. Ya ALLAH, tolonglah kami untuk selalu menjaga lisan kami inni agar tidak terjerumus dalam kesalahan.
Tidak Semua Khilafiyah Di Toleransi
            Serinngkali kita dapatkan ketika para da’I mengoreksi sebuah kesalah dalam beragama atau memberikan nasehat untuk meninggalkan sesuatu yang salah mereka menghadapi pernyataan-pernyataan seperti “Sudahlah biarkan saja, ini kan Khilafiyah”. Atau “Jangan merasa benar sendiri lah, ini kan khilafiyah”. Terkadang pernyataan-pernyataan tersebut datang dari orang-orang yang enggan menerima nasehat tapi tidak bisa membantah karena tidak memiliki ilmu, akhirnya dalih khilafiyah pun dipakai.
            Pada prakteknya, terkadang yang mereka anggap khilafiyah itu ternyata bukan khilafiyah, namun terkadang memang khilafiyah. Yang ingin kami bahas disini adalah bahwa tidak semua perkara khilafiyah itu bisa ditoleransi, sehingga semuanya dianggap benar dan boleh dipegang.
Jika Terjadi Perselisihan Wajib Berhukum Kepada Dalil Bukan Khilafiyah
            Banyak sekali firman ALLAH Ta’ala dan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang memerinntahkan kita untuk berhukum dengan Al-Quran dan Sunnah ketika terjadi perselisihan. ALLAH Ta’ala berfirman yang artinya, “Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah ia kepada ALLAH (Al-Quran) dan Rasul (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada ALLAH dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (Bagimu)dan lebih baik akibatnya “. (QS. An Nisa; 59). Hadis ini juga member faidah bahwa Al-Quran dan Sunnah dipahami dengan pemahaman para sahabat.
            Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda; “Telah berpecah kaum Yahudi menjadi 71 golongan dan telah berpecah kaum Nashara menjadi 72 golongan, sedang umatku akan berpecah menjadi 73 golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kami pun bertanya, siapakah yang satu tiu ya Rasulullah? Beliau menjawab; yaitu orang-orang yang berada pada jalanku dan jalannya para sahabatku di hari ini”. (HR. Tirmidzi)
            Jelas sekali bahwa jika ada perselisihan maka solusinya adlah kembali kepada dalil, dan tentunya dipahami dengan pemahaman generasi terbaik umat islam yaitu sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. maka tidak tepat sebagian orang yang jika ada perselisihan selalu menuntut toleransi terhadap semua pendapat, seolah semua pendapat itu benar semua dan semuanya halal, hanya dengan dalil ini kan khilafiyyah.
Pendapat Ulama Bukan Dalil
            Para ulama berkata; “Pendapat para ulama itu butuh dalil dan ia bukanlah dalil”. Imam Abu Hanifah berkata; “Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat kami, selama ia tidak tahu darimana kami mengambilnya dalilnya”. (Diriwayatkan Ibnu Abdil Barr dalam Al Intiqa).
            Imam Asy Syafi’I berkata; “Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya sunnah Rasulullah shallallallahu alaihi wasallam tidak boleh ia meninggalkan sunnah demi membela pendapat siapapun”. (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam).
            Imam Malik berkat; “Saya ini hanya seorang manusia, kadang salah dan kadang benar. Cermatilah pendapatku, tiap yang sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah..”. (Diriwayatkan Ibnu Abdil Barr)
            Orang yang hatinya berpenyakit akan mencari-cari pendapat salah dan aneh dari para ulama demi mengikuti hawa nafsunya menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Sulaiman At Taimi berkata, “Andai engkau mengambil pendapat yang mudah-mudah saja dari para ulama, atau mengambil setiap ketergelinciran dari pendapat para ulama, pasti akan terkumpul padamu seluruh keburukan”. (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim)
Kapan Khilafiyyah Ditoleransi?
            Syaikh Mustafa Al Adawi berkata; “Ada banyak permasalahan yang para ulama berlapang dada dalam menyingkapi perselisihan di dalamnya, karena ada beberapa para ulama disana. Setiap pendapat disandarkan pada dalil yang shahih atau pada kaidah asal yang umum, atau kepada qiyas jaliy.
            Maka dalam permasalahan yang seperti ini, tidak boleh kita menganggap orang yang berpegang pada pendapat lain sebagi musuh, tidak boleh menggelarinya sebagi orang yang sesat dan menyimpang. Bahkan selayaknya kita mentoleransi semua pendapat selama bersandar pada dalil shahih, walaupun kita menganggap pendapat yang kita pegang itu lebih tepat. (Mafatihul Fiqhi, 1/100).
            Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata “Ucapan sebagian orang bahwa masalah khifiyyah itu tidak boleh diingkari, tidaklah benar. Dalam pengingkaran pendapat., jika suatu pendapat menyelisih sunnah atau ijma’ yang telah dikenal kebenaran nukilannya, maka pendapat tersebut wajib untuk diingkari menurut kesepakatan para ulama. Meskipun tidak secara langsung pengingkarannya, menjelaskan lemahnya pendapat tersebut, ini juga merupakan bentuk pengingkaran”.
            Beliau melanjutkan; “Bagaimana mungkin seorang ahli fiqih mengatakan bahwa tidak boleh ada pengingkaran pada masalah khilafiyyah, padahal ulama dari semua golongan telah sepakat menyatakan secara tegas bahwa keputusan hakim jika menyelisihi Al-Quran atau Sunnah menjadi batal. Walaupun keputusan tadi telah sesuai dengan pendapat sebagian ulama. Sedangkan jika dalam suatu permasalahan tidak ada dalil tegas dari Sunnah atu ijma dan memang ada ruang bagi ulama untuk berijtihad dalam masalah ini, maka orang yang mengamalkannya tidak boleh diingkari”. (I’Iamul Muwaqqi’in, 3/224).At-Tauhid: Setiap Ucapan Akan Masuk Catatan Amal

No comments:

Post a Comment