Diantara sunnah
mulai luntur di tengah kaum muslimin sekarang terkait ibadah shalat adalah
menghadap sutrah ketika shalat. Mudah-mudahan penjelasan yang singkat ini dapat
memberikan pencerahan kepada umat mengenai sutrah dalam shalat.
Sutrah secara bahasa arab yang
artinya apapun yang dapat menghalangi (lihat qams al muhith). Jadi sutrah
adalah penghalang. Dalam teminologi ilm fiqih, sutrah yang artinya segala
sesuatu yang berdiri di depan orang yang sedang shalat, dapat berupa tongkat,
atau tanah yang disusun atau semacamnya untuk mencegah orang lewat di depannya.
(Mausu’ah fiqhiyyah kuwaitiyyah, 3/176-177).
Menhadap sutrah ketika shalat adalah
hal yang disyariatkan. Banyak hadis yang mendasari hal ini diantaranya hadis Abu
sa’id al khudri bahwa nabi shallallhu alaihi wasalam bersabda; “Jika seseorang
mengerjakan sholat maka sholatlah dengan menghadap sutrah dan mendekatlah
padanya.”(HR. Abu Daud). Juga hadis dari Sabrah bin ma’bad Al juhani, nabi
shallallahu alaihi wasallam bersabda; “Sutrah seseorang ketika shalat adalah
anak panah. Jika seseorang diantara kalian shalat, hendaknya menjadikan anak
panah sebagai sutrah.”(HR. Ahmad). Juga sabda beliau, “Janganlah sholat kecuali
menghadap sutrah dan jangan biarkan seseorang lewat di depanmu, jika ia enggan
dilarang maka perangilah (halangi dengan kuat) ia, karena sesungguhnya
bersamanya ada qarin.” (HR. Ibnu Khuzaimah).
Hukum Menghadap Sutrah Ketika Shalat
Para ulama berbeda pendapat mengenai
hukum menghadap sutrah ketika shalat
dalam 4 pendapat:
1.
Wajib.
Ini merupakan pendapat ibnu hazm, Asy Syaukani dan Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al Albani
2.
Sunnah
secara mutlak. Ini merupakan pendapat syafi’yyah dan salah satu pendapat Imam
Malik.
3.
Sunnah
jika dikhawatirkan ada yang lewat. Ini merupakan pendapat Malikiyah dan
Hanafiyyah.
4.
Sunnah
bagi Imam dan Munfarid. Ini pendapat Hanabilah (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah,
24/178)
Jika melihat beberapa hadis yang
telah lalu tentang sutrah, disana digunakan lafadz perintah (shalatlah
menghadap sutrah) dajn juga lafadz (bersutrahlah), yang pada asalnya
menghasilkan hukum wajib karena hukum asal perintah adalah wajib kecuali
terdapat qarinah (tanda-tanda) yang memalingkannya dari hukum wajib. Alasan ini
yang dipegang oleh para ulama yang mewajibkan sutrah. Namun tidak wajibnya
sutrah adalah pendapat jumhur ulama, bahkan sebagian ulama menukil ij’ma akan
hal ini. Ibnu qudamah dalam al mughni mengatakan; “Kami tidak mengetahui adanya
khilaf tentang hukum mustahab (sunnah) mengenai penggunaan sutrah dalam shalat”
(Al Mughni, 2/174). Mengenai validitas ijma Ibnu Qudamah dan ulama lain yang
mengklaim ijma sunnahnya sutrah perlu dikaji lebih jauh, namun bukan dalam
tulisan ini. Syaikh Muhammad bin shalih Al Utsaimain dalam syahrul mumthi
(3/277) menyebutkan beberapa qarina yang menunjukkan tidak wajibnya shalat
menghadap sunnah;
1.
Hadis
Abu sa’id al Khudri, nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,”Jika salah satu
dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang
lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia sutrah, maka
perangilah halangi dengan kuat ia, karena sesungguhnya ia adalah setan.”(HR. Al
Bukhari). Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang sholat terkadang menghadap
sesuatu dan terkadang tidak menghadap apa pun. Karena konteks kalimat ini tidak
menunjukkan bahwa semua orang di masa itu selalu shalat menghadap sutrah.
Bahkan menunjukkan bahwa sebagian orang menghadap ke sutrah dan sebagian lagi
tidak menghadap ke sutrah.
2.
Hadis
Ibnu Abbas, “Rasulullah shallallahu alaihi wasalam pernah shalat di Mina tanpa
menghadap ke tembok.”(HR. Al Bukhari)
3.
Hadis
Ibn Abbas, “Rasulullah shallallahu alaihi wasalam pernah sholat di lapangan
terbuka sedangkan dihadapan beliau tidak terdapat apa-apa.”(HR. Ahmad)
4.
Hukum
asal tata cara ibadah adalah bara’at adz dzimmah (tidak adanya kewajiban)
Mengenal hadis Ibnu Abbas yang
ketiga ini diperselisihkan keshahihannya, karena di dalamnya terdapat perawi AL
Hajjaj bin Arthah yang statusnya “shaduq katsiirul khata’ wat tadlis” (shaduq,
banyak salah dan banyak melakukan tadlis) dan di dalamnya sanad Al Hajjaj pun
melakukan an’anah. Namun hadis ini memilki jalan lain dalam Musnad Ahmad (5/11,
104)
Kesimpulan Hukum
Selain hadis Ibnu Abbas ini,
diperkuat juga dengan argument dari hadis Abu sa’id al khudri sebagaimana
penjelasan yang disampaikan syaikh al utsaimin maka wallahu’alam yang rajah
hukum menghadap sutrah ketika sholat adalah sunnah, tidak sampai wajib. Inilah
pendapat yang dikuatkan oleh jumhur ulama.
Namun sunnahnya mengahadap sutrah ketika
sholat itu berlaku imam dan munfarid karena para sahabat nabi mereka sholat
bermakmm kepada nabi shallallahu alaihi wasallam namun tidak ada seorang pun
dari mereka yang membuat sutrah (Syarhul mumthi, 3/278). Para fuqaha bersepakat
bahwa sutrah imam itu sudah mencukupi untuk makmum, baik posisi makmum berada
disisi maupun di belakang imam. Dan mereka juga bersepakat bahwa makmum tidak
disunnahkan membuat strah (Mausu’ah fiqhiyyah kuwaitiyyah, 24/184)At Tauhid: Sutrah, SUnnah Yang Terlupakan
No comments:
Post a Comment