Bersemangat Di Sepuluh Hari
Terakhir Bulan Ramadhan
Sepertiga terakhir bulan Ramadhan
adalah saat-saat yang penuh dengan kebaikan dan keutamaan serta pahala yang
melimpah. Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Oleh
karena itu suri tauladan kita Nabi shallallahu alaihi wasallam dahulu
bersungguh-sungguh untuk menghidupkan sepuluh hari terakhir tersebut dengan
berbagai amalan melebihi waktu-waktu lainnya. Sebagaimana istri Beliau, Ummul
Mukminin Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sangat
bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan,
melebihikesungguhan beliau di waktu yang lainnya”. (HR.Muslim).
Aisyah radhiyallahu anha juga
mengatakan, “Apabila Nabi shallallahu alaihi wasallam memasuki sepuluh hari
terakhir di bulan ramadhan, beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para
istri beliau), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya”.
(HR. Bukhari dan Muslim).
Keutamaan Lailatul Qadar
Pada sepertiga terakhir dari bulan
Ramadhan yang penuh berkah ini terdapat malam Lailatul Qadar, suatu malam yang
dimuliakan oleh ALLAH SWT melebihi malam-malam lainnya. Di antara kemulian
malam tersebut adalah ALLAAH mensifatinya dengan malam yang penuh keberkahan.
ALLAH Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya
Kami menurunkan Al-Quran pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya
Kamilah yang member peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang
penuh hikmah”. (QS. Ad Dukhan 44; 3 – 4). Malam yang diberkahi dalam ayat
ini adalah malam Lailatul Qadar sebagaimana ditafsirkan pada surat Al-Qadar.
ALLAH Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya Al-Quran pada malam kemuliaan “. (QS. Al Qadar 97;
1). Keberkahan dan kemuliaan yang dimaksudkan dalam ayat yang selanjutnya, “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu
bulan. Pada malam tersebut turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan
izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan
sampai terbit fajar”. (QS. Al-Qadar; 3 – 5).
Kapan Malam Lailatul Qadar Terjadi?
Lailatul qadar itu terjadi pada
sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu
alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Carilah
lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan”.(HR.
Bukhari). Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih
memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu
alaihi wasallam diatas.
Terjadinya lailul qadar di tujuh
malam terakhir bulan ramadhan itu lebih memungkinkan sebagaimana hadis dari
Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Carilah lailatul qadar ddi sepuluh malam terakhir, namun jiika ia
dimpa keletihan, maka janganlah ia dikalahkan pada tujuh malam yang tersisa”.(HR.
Muslim).
Dan ada pula yang memilih pendapat
bahwa lailatul qadar adalah malam kedua puluh tujuh sebagaimana ditegaskan oleh
Ubay bin Ka’ab. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada
sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari bahwa lailatul qadar itu
terjadi pada malam ganjil dari seepuluh malam terakhir dan waktunya
berpindah-pindah dari tahun ke tahun. Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada
malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi
pada malam kedua puluh lima tergantung kehendak dan hikamh ALLAH Ta’ala. Hal
ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Carilah lailatul qadar di sepuluh malam
terakhir dari bulan Ramadhan pada Sembilan, tujuh dan lima malam yang tersisa”.(HR.
Bukhari).
Hikmah ALLAH SWT menyembunyikan
pengetahuan tentang terjadinya malam lailatul qadar diantaranya adalah agar
terbedakan antara orang yang sungguh-sungguh untuk mencari malam tersebut
dengan orang yang malas. Karena orang yang benar-benar ingin mendapatkan
sesuatu tentu akan bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Hal ini juga sebagai
rahmat ALLAH SWT agar hamba memperbanyak amalan pada hari-hari tersebut dengan
demikian mereka akan semakin bertambah dekat dengan-NYA dan akan memperoleh
pahala yang amat banyak. Semoga ALLAH SWT memudahkan kita memperoleh malam yang
penuh keberkahan ini. Amin Ya Sami’ad Da’awat.
Tanda-Tanda Malam Lailatul Qadar
1. Udara
dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Lailatul
qadar adalah malam yang penuh kelembutan, cerah, tidak begitu panas, juga tidak
begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar lemah dan nampak
kemerah-merahan”. (HR. Ath Thoyalisi. Haytsami mengatakan periwayatnya
adalah tsiqoh/terpecaya).
2. Malaikat
menurunkan ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan tersebut dan
merasakan kelezatan dalam beribadah, yang tidak didapatkan pada hari-hari yang
lain.
3. Manusia
dapat melihat mala mini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian
sahabat.
4. Matahari
akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tidak ada sinar. Dari Abi
nin Ka’ab bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “”””Subuh hari dari malam lailatul qadar
matahari terbit tanpa sinar, seolah-olah mirip bejana hingga matahari itu
naik”.(HR. Muslim) (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 2/149-150)
I’tikaf
Dalam sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan, kaum muslim dianjurkan (disunnahkan) untuk melakukan I’tikaf.
Sebagaimana Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam biasa beri’tikaf pada setiap Ramadhan selama 10 hari dan pada akhir
hayat, beliau melakukan I’tikaf selama 20 hari. (HR. Bukhari).
Lalu apa yang dimaksudkan dengan
I’tikaf? Dalam kitab lisanul arab, I’tikaff secara bahasa bermakna merutinkan
sesuatu. Sehingga orang yang mengharuskan dirinya untuk berdiam di mesjid dan
mengerjakan ibadah di dalamnya disebut mu’takifun atau akifun. (Lihat Shohih
Fiqh Sunnah, 2/150).
Dan paling utama adalah beri’tikaf
pada 10 hari terkahir di bulan Ramadhan. Aisyah radhiyallahu anha mengatakan
bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada 10 hari terakhir
di bulan Ramadhan sampai ALLAH SWT mewafatkan beliau. (HR. Bukhari dan Muslim).
Nabi shallallahu alaihi wasallam
juga beri’tikaf di 10 hari terakhir dari bulan Syawal sebagai qadha karena
tidak beri’tikaf di bulan Ramadhan (HR. Bukhari dan Muslim).
I’tikaf Harus Di Mesjid Dan Boleh
di Mesjid Mana Saja
I’tikaf disyariatkan dilaksanakan di
mesjid berdasarkan firman ALLAH Ta’ala yang artinya, “Tetapi janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam
mesjid”.(QS. Al-Baqarah; 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di
mesjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali.
Menurut mayoritas ulama, I’tikaf
disyariatkan di semua mesjid karena keumuman firman ALLAH SWT diatas yang
artinya, “…. Sedang kamu beri’tikaf dalam
mesjid”. Adapun hadis marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, “Tidak ada
I’tikaf kecuali pada tiga mesjid”, hadis ini masih diperselisihkan apakah
statusnya marfu’ (sampai pada Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat). (Lihat
Shohih Fiqh Sunnah, 2/151).
Wanita Juga Boleh Beri’tikaf
Dibolehkan bagi wanita untuk
melakukan I’tikaf sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wasallam mengizinkan
istri beliau untuk beri’tikaf. (HR. Bukhari dan Muslim). Namun wanita boleh
beri’tikaf disini harus memenuhi 2 syarat; diizinkan oleh suami dan tidak
menimbulkan fitnah (masalah bagi laki-laki). (Lihat Shohih Fiqh Sunnah,
2/151-152).
Waktu Minimal Lamanya I’tikaf
I’tikaf tidak disyaratkan dengan
puasa. Karena Umar pernah berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Ya Rasulullah
aku dulu pernah bernazar di masa Jahiliyah untuk beri’tikaf semalam di Masjidil
Haram?” lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam mengatakan, “Tunaikan nazarmu”.
Kemudian Umar beri’tikaf semalam. (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam kondisi
tersebut Umar radhiallahu anhu tidak berpuasa pada siangnya. Jadi puasa
bukanlah syarat untuk I’tikaf. Maka dari hadis ini boleh bagi seseorang
beri’tikaf hanya semalam. Wallahu a’alam.
Yang Membatalkan I’tikaf
Beberapa hal yang membatalkan
I’tikaf adalah keluar dari mesjid tanpa alasan syar’I atau tanpa ada kebutuhan
yang mubah yang mendesak (misalnya untuk mencari makan, mandi junub, yang bisa
dilakukan di luar mesjid), Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat
Al-Baqarah ayat 187. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 2/155/156).At Tauhid: Menantikan Malam Lailatul Qadar
No comments:
Post a Comment