Segala puji bagi ALLAH. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.
Tak diragukan lagi, ibadah qurban adalah ibadah kepada
ALLAH dan pendekatan diri kepada-NYA, juga dalam rangka mengikuti ajaran Nabi
kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Kaum muslimin sesudah beliau pun
melestarikan ibadah mulia ini. Tidak ragu lagi ibadah ini adalah bagian dari
syari’at islam.
Sebuah ayat yang menjadi pertanda disyariatkannya ibadah
qurban adalah firman ALLAH ta’ala yang artinya, “Dirikanlah shalat dan
berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Diantara tafsir ayat ini adalah “Berqurbanlah
pada hari raya Idul Adha (yaumun nahr)”. Tafsiran ini diriwayatkan dari Ali bin
Abi Thollah dari Ibnu Abbas, juga menjadi pendapat “atho”, mujahid dan jumhur
ulama. (lihat Zaadul Masiir, Ibnu Jauzi, 6/195.
Penyembelihan qurban ketika hari raya Idul Adha disebut
dengan al udh-hiyah. Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari
iedul Adha dan hari tasryriq dalam rangka mendekatkan diri kepada ALLAH karena
datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan shahih fiqih sunnah,
II/366). Sehingga makna al udh-hiyah menurut istilah syar’I adalah hewan yang
disembelih dalam rangka mendekatkan diri kepada ALLAH ta’ala, dilaksanakan pada
hari an nahr dengan syarat-syarat tertentu. (Lihat Mawsuah Al Fiqhiyyah AL
Kuwaitiyyah, 2/1525).
Dari definisi ini, maka yang tidak termasuk dalam al
udh0hiyyah adalah hewan yang disembelih bukan dalam rangka taqorrub pada ALLAH
seperti untuk dimakan, dijual atau untuk menjamu tamu. Begitu pula yang tidak
termasuk al udh-hiyyah adalah hewan yang disembelih di luar hari tasyriq
walaupun dalam rangka taqarrub pada ALLAH. Begitu pula yang tidak termasuk al
udh-hiyyah adalah hewan untuk aqiqah dan al hadyu yang disembelih di Mekkah.
(Lihat Mawsuah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1526).
Catatan; aqiqah adalah hewan yang disembelih dalam rangka
mensyukuri nikmat kelahiran anak yang diberikan oleh ALLAH Ta’ala, baik anak
laki-laki maupun perempuan. Sehingga aqiqah berbeda dengan al udh-hiyyah karena
al udh-hiyyah dilaksanakan dalam rangka mensyukuri nikmat kehidupan, bukan
syukur atas nikmat kelahiran si buah hati. Oleh karena itu, jika seorang anak
dilahirkan ketika Idul Adha, lalu diadakan penyembelihan dalam rangka bersyukur
atas nikmat kelahiran tersebut, maka sembelihan ini disebut dengan sembelihan
aqiqah dan bukan al udh-hiyyah. (Lihat Mawsuah Al Fiqhiyyah AL Kuwaitiyyah,
2/1526)
Keutamaan
Qurban
Menyembelihan qurban termasuk amal shalih yang paling
utama. Aisyah radhiyallahu’anhu menceritakan bahwa Nabi shallallahu alaihi
wasallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr
yang lebih dicintai oleh ALLAH melebihi mengalirkan darah qurban, maka
hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan AL
Hakim dengan sanad sholih, lihat Taudhihul ahkam, IV/450)
Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban
pada hari Idul Adha lebih utama daripada sedekah yang senilai dengan harga
hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak daripada nilai hewan qurban.
Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada ALLAH. Di
samping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syiar islam dan lebih sesuai
dengan sunnah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/379 & Syarhul Mumthi, 7/521)
Hikmah
di Balik Menyembelih Qurban
Pertama,
bersyukur kepada ALLAH atas nikmat hayat kehidupan yang berikan. Kedua, menghidupkan ajaran Nabi Ibrahim
khalilullah alaihis sallam yang ketika itu ALLAH memerintahkan beliau untuk
menyembelih anak tercintanya sebagai tebusan yaitu Nabi Ismail alaihis sallam
ketika hari an nahr. Ketiga, agar
setiap mukmin mengingat kesabaran Nabi Ibrahim dan Ismail yang ini membuahkan
ketaatan pada ALLAH dan kecintaan pada-NYA lebih dari diri sendiri dan anak. Pengorbanan
seperti inilah yang menyebabkan lepasnya cobaan sehingga Ismail pun diganti
menjadi seekor domba. Jika setiap mukmin mengingat kisah ini, seharusnya mereka
mencontoh dalam bersabar ketika melakukan ketaatan pada ALLAH dan seharusnya
mereka mendahulukan kecintaan ALLAH dari hawa nafsu dan syahwatnya. (Lihat
Mawsuah Al Fiqhiyyah AL Kuwaittiyyah, 2/1528). Keempat, ibadah qurban lebih baik daripada bersedekah dengan uang
yang semisal dengan hewan qurban. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/379)
Raihlah
ikhlas dan Takwa dari Sembelihan Qurban
Menyembelih qurban adalah suatu ibadah yang mulia dan
bentuk pendekatan diri kepada ALLAH, bahkan seringkali ibadah qurban
digandengkan dengan ibadah shalat. ALLAH ta’ala berfirman yang artinya, “Maka
dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah.” (QS. Al Kautsar; 2).
“Katakanlah; sesungguhnya shalatku, nusuk-ku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk ALLAH, Rabb semesta alam.” (QS. Al An’am; 162). Di antara
tafsiran an nusuk adalah sembelihan, sebagaimana pendapat Ibnu Abbas, Sa’id bin
Jubair, Mujahid dan Ibnu Qutaibah. Az Zajaj mengatakan bahwa makna an nusuk
adalah segala sesuatu yang mendekatkan diri pada ALLAH, namun umumnya digunakan
untuk sembelihan. (Lihat Zaadul Masiir, 2/446).
Ketahuilah, yang ingin dicapai dari ibadah qurban adalah
keikhlasan dan ketakwaan dan bukan hanya daging atau darahnya. ALLAH Ta’ala
berfirman yang artinya, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak
dapat mencapai keridhaan ALLAH, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat
mencapainya.” (QS. AL Hajj: 37)
Ingatlah, bukanlah yang dimaksudkan hanyalah menyembelih
saja dan yang ALLAH harap bukanlah daging dan darah qurban tersebut karena
ALLAH tidaklah butuh pada segala sesuatu dan dialah yang pantas diagungkan. Yang
diharapkan dari qurban tersebut adalah keikhlasan, ihtisab dan niat yang
shalih. Oleh karena itu, ALLAH katakana yang artinya, “Ketakwaan dari kamulah
yang dapat mencapai ridho-nya”. Inilah yang seharusnya menjadi motivasi ketika
seseorang berqurban yaitu ikhlas, bukan riya atau berbangga dengan harta yang
dimiliki dan bukan pula menjalankannya karena sudah jadi rutinitas tahunan.
Menyembelih
Qurban Wajib atau Sunnah?
Menyembelih qurban adalah sesuatu yang disyariatkan
berdasarkan Al Quran, As sunnah dan Ijma (consensus kaum muslimin). (lihat
Mawsuah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1527) namun apakah menyembelih tersebut
wajib ataukah sunnah? Disini para ulama memiliki beda pendapat.
Pendapat
pertama; Diwajibkan bagi orang yang mampu
Yang berpendapat
seperti ini adalah Abu Yusuf dalam salah satu pendapatnya, Rabiah, Al Laits bin
Sa’ad, al Auza’I, Ats Tsauri, dan Imam Malik dalam salah satu pendapatnya.
Diantara dalil mereka adalah firman ALLAH ta’ala yang
artinya, “Dirikanlah shalat dan berkurbanlah.” (QS. Al Kausar; 2). Ayat ini
menggunakan kata perintah dan hukum asal perintah adalah wajib. Jika Nabi
shallallahu alaihi wasallam diwajibkan terhadap hal ini, maka begitu pula
dengan umatnya. (Lihat Mawsuah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1529) dan masih
ada beberapa dalil lainnya.
Pendapat
kedua; SUnnah dan tidak wajib
Mayoritas ulama
berpendapat bahwa menyembelih qurban adalah sunnah mu’akkad. Pendapat ini
dianut oleh ulama syafi’iyyah, ulama Hambali, pendapat yang paling kuat dari
Imam Malik, dan salah satu pendapat dari Abu Yusuf. Pendapat ini juga adalah
pendapat Abu Bakar, Umar bin Khottob, Bilal, Abu Mas’ud Al Badriy, Suwaid bin
Ghafallah, Sa’id bin Al Musayyab, Atho, Alqomah, Al aswad, Ishaq, Abu Tsaur dan
Ibnul Mundzir.
Diantara dalil mayoritas ulama adalah sabda Nabi
shallallahu alaihi wasalam, “Jika masuk bulan dzulhijjah dan salah seorang dari
kalian ingin menyembelih qurban, maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun
dari rambut dan kukunya.” (HR. Muslim). Yang dimaksud disini adalah dilarang
memotong rambut dan kuku shohibul qurban (orang yang akan berqurban) itu
sendiri.
Hadis ini mengatakan, “Dan salah seorang dari kalian
ingin”, hal ini dikaitkan dengan kemauan. Seandainya menyembelih qurban itu
wajib, maka cukuplah Nabi shallallahu alaihi wasallam mengatakan, “Maka
hendaklah ia tidak memotong sedikit pun dari rambut dan kukunya.” Tanpa disertai
adanya kemauan.
Begitu pula alasan tidak wajibnya karena Abu Bakar dan
Umar tidak menyembelih selama setahun atau dua tahun karena khawatir jika
dianggap wajib. (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi). Dari dua pendapat diatas, kami
lebih cenderung pada pendapat kedua (pendapat mayoritas ulama) yang menyatakan menyembelih qurban adalah
sunnah dan tidak wajib. Diantara alasannya adalah karena pendapat ini didukung
oleh perbuatan Abu Bakar dan Umar yang tidak pernah tidak berqurban. Seandainya
tidak ada dalil dari hadis Nabi yang menguatkan salah satu pendapat diatas,
maka cukup perbuatan mereka berdua seebagai hujjah yang kuat bahwa qurban
tidaklah wajib namun sunnah, “Jika kalian mengikuti Abu Bakar dan Umar, pasti
kalian akan mendapatkan petunjuk.” (HR. Muslim).
Hanya ALLAH yang member taufik dan hidayah. Semoga ALLAH
memudahkan kita untuk melakukan ibadah yang mulia ii dan menerima setiap amalan
sholih kita. Segala puji bagi ALLAH yang dengan nikmat-NYA segala amalan
menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, Keluarga, dan
Para Sahabatnya.At Tauhid: Meraih Taqwa Melalui Ibadah Qurban
No comments:
Post a Comment