Sebagian jagal (tukang sembelih
qurban) kadang mengambil jatah upahnya dari daging sembelihan qurban, walau ia
juga sudah mendapatkan jatah bayaran. Kadang juga sebagai upah, jagal tersebut
diberi kulit. Terkadang ia pun mendapatkan jatah daging yang lebih dari
pembagian lainnya pada masyarakat. Jika asalnya warga diberi 1 kg daging,
mungkin jagal bisa dapat jatah 2 kg. lebihnya inilah yang dianggap sebagai
tambahan upah. Padahal namanya qurban itu diserahkan segala hasilnya secara Cuma-Cuma,
bukan maksud mendapatkan timbale balik barang atau uang seperti dalam jual beli
atau timbale balik jasa sebagaimana mengupahi. Karena jika sebagian hasil
qurban semisal kulit atau daging diserahkan pada tukang jagal, maka itu sama
saja menjual. Padahal telah terlarang menjual dari hasil qurban apa pun itu.
Nah, itulah pula yang disinggungkan
kali ini mengenai kebiasaaan sebagian panitia yang memanfaatkan hasil qurban
untuk makan-makan mereka. Ini sebenarnya tidak jauh dari upah untuk panitia.
Panitia yang menyembelih, memotong dan menguliti qurban sama saja dengan jagal,
mereka bukanlah amil seperti dalam zakat, namun sebagai wakil shohibul qurban
untuk menyembelih hewannya.
Masalah Upah Untuk Jagal Dari Hasil Qurban
Dalil terlarangnya member upah pada
jagal dari hasil sembelihan qurban sebagaimana terdapat dalam riwayat yang
disebutkan oleh Ali bin Abi Tholib, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan
daging, kulit dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk
melindungi dari dingin) aku tidak member sesuatu pun dari hasil sembelihan
qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan member upah kepada
tukang jagal dari uang kami semdiri.” (HR. Muslim)
Dari hadis ini, Imam Nawawi
mengatakan, “Tidak boleh member tukang jagal sebagian hasil sembelihan qurban
sebagai upah baginya.” Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, juga menjadi
pendapat Atho’, An Nakho’I, Imam Malik, Imam Ahmad dan Ishaq. (Syarh Muslim, An
Nawawi, 4: 453). Dalam Kifayatul Akhyar (hal. 489) karya Abu Bakr bin Muhammad
Al Husayinniy Al Hushniy Asy Syafi’I disebutkan, “Yang namanya hasil qurban
adalah dimanfaatkan secara Cuma-Cuma, tidak boleh diperjualbelikan. Termasuk
pula tidak boleh menjadikan kulit qurban tersebut sebagai upah untuk jagal,
walau qurbannya adalah qurban yang hukumnya sunnah.”
Namun sebagian ulama ada yang
membolehkan memberikan upah kepada tukang jagal dengan kulit semacam AL hasan
Al Bashri. Belian mengatakan, “Boleh member jagal upah dengan kulit.” Imam
Nawawi lantas menyanggah pernyataan tersebut, “Perkataan beliau ini telah
membuang sunnah (ajaran Rasul shallallahu alaihi wasallam, 4: 453)
Dalam AL Mawsu’ah Al Fiqhiyyah AL
Kuwaitiyah (5: 105) disebutkan, “Ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat;
haram memberikan upah kepada tukang jagal dari hasil qurban dengan alasan hadis
Ali radhiyallahu anhu yang telah disebutkan. Namun kalau diserahkan kepada
tukang jagal tersebut karena statusnya miskin atau dalam rangka member hadiah,
maka tidaklah mengapa. Tukang jagal tersebut boleh saja memanfaatkan kulitnya.
Namun tidak boleh kulit dan bagian hasil qurban lainnya dijual.”
Sehingga yang tepat, upah jagal
bukan diambil dari hasil sembelihan qurban baik daging maupun kulitnya. Namun
shohibul qurban melalui panitia qurban hendaknya menyediakan upah khusus dari
kantongnya sendiri untuk tukang jagal tersebut.
Masalah Jatah dan Makan-Makan Panitia
Panitia yang bertugas untuk
menguliti, mengiris daging, membagi dan mendistribusikan ke masyarakat termasuk
dalam kategori tukang jagal dan orang yang mengurusi hewan kurban. Panita boleh
menerima dan memakan daging kurban namun dalam kapasitas dia sebagai masyarakat
yang diberi jatah pembagian daging kurban, sehingga daging yang ia bawa pulang
sama dengan yang diperoleh tetangga lainnya yang tidak menjadi panitia.
Contohnya cara pembagian yang
dibolehkan: warga desa kampong A berqurban 5 ekor sapid an 13 ekor kambing.
Setelah dihitung, masing-masing kepala keluarga mendapat jatah 2 kg daging
sapid an ½ kg daging kambing. Semua merata tanpa memperhatikan status, baik
panitia maupun bukan panitia. Contoh cara pembagian yang terlarang 1: warga
desa kampong A berqurban 5 ekor sapid an 13 ekor kambing. Setelah dihitung,
masing-masing kepala keluarga mendapatkan jatah 2 kg daging sapi dan ½ kg
daging kambing. Khusus untuk panitia mendapat jatah tambahan masing-masing ½ kg
daging sapi sebagai ganti jasa mereka yang telah mengurusi hewan qurban. Dalam
keluarga Pak Ahmad ada 4 orang yang terlibat sebagai panitia, yaitu Pak Ahmad,
Bu Ahmad, dan 2 putranya. Sehingga keluarga Pak Ahmad mendapatkan jatah 4 kg
daging sapi dan ½ kg daging kambing. Keluarga Pak Ahmad mendapatkan kelebihan
jatah 2 kg sapi karena anggotanya yang terlibat 4 orang x ½ kg = 2 kg.
Contoh cara pembagian yang terlarang
2: sebagai bentuk imbal jasa bagi panitia qurban maka panitia mengambil 1 ekor
kambing untuk disembelih sebagai jamuan makan bersama bagi panitia. Disamping
itu, panita juga mendapatkan jatah yang sama dengan warga yang lainnya. Dengan
demikian, panitia mendapat tambahan jatah pembagian qurban yang mereka jadikan
sebagai menu makan bersama.
Untuk keperluan kepanitiaan, baik
untuk administrasi secretariat, pembelian kantong plastic, sewa tenda, upah
jagal dan orang-orang yang membantu dalam kepanitiaan, konsumsi dan
transportasi hendaklah biayanya dibebankan kepada orang yang berkurban atau
sumbangan lainnya. Daging kurban seluruhnya dibagi untuk masyarakat tanpa
membedakan panita atau bukan panitia.
Qurban Atas Nama Mayat
“Bolehkah berkurban atas nama mayat?”
Para ulama berselisih pendapat
mengenai keabsahan qurban untuk mayat jika bukan karena wasiat. Dalam madzhab
Syafi’I, qurbannya tidak salah kecuali jika ada wasiat dari mayat. Imam Nawawi
rahimahullah berkata dalam AL Minhaj, “Tidak sah qurban untuk orang lain selain
dengan izinnya. Tidak sah pula qurban untuk mayat jika ia tidak member wasiat untuk
qurban tersebut.”
Kita dapat membagi berqurban untuk
mayat menjadi tiga rincian sebagai berikut: pertama, berqurban untuk mayat hanya sebagai ikutan. Misalnya seseorang
berqurban untuk dirinya dan keluarganya termasuk yang masih hidup atau yang telah
meninggal dunia. Dasar dari bolehnya hal ini adalah karena Nabi shallallahu
alaihi wasalm pernah berqurban untuk dirinya dan keluarganya, termasuk di
dalamnya yang telah meninggal dunia.
Bahkan jika seseorang berqurban
untuk dirinya, seluruh keluarganya baik yang masih hidup maupun yang telah
mati, bisa termasuk dalam niatan qurbannya. Dalilnya, “Pada masa Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam ada seseorang suami menyembelih seekor kambing
sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Asy Syaukani mengatakan, “Dari
berbagai perselisihan ulama yang ada, yang benar, qurban kambing boleh
diniatkan untuk satu keluarga walaupun dalam keluarga tersebut ada 100 jiwa
atau lebih.” (Asy Syaukani 8: 125, Mawqi Al Islam). Kedua, berqurban untuk mayat atas dasar wasiatnya (sebelum
meninggal dunia). Hal ini dibolehkan berdasarkan firman ALLAH Ta’ala yang
artinya, “Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya
maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya
ALLAH Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 181).
Ketiga,
berqurban dengan niatan khusus untuk mayat, bukan sebagai ikutan dan tidak ada
wasiat, maka seperti ini tidak ada contoh dari Nabi shallallahu alaihi
wasallam. Karena Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak pernah berqurban untuk
salah satu orang yang telah meninggal dunia dengan niatan khusus. Beliau tidah
pernah berqurban atas nama pamannya, Hamzah radhiyallahu anhu, padahal dia
termasuk kerabat terdekat beliau. Tidak diketahui bahwa beliau pernah berqurban
atas nama anak-anak beliau yang telah meninggal dunia, yaitu tiga anak
perempuan beliau yang telah menikah dan dua anak laki-laki yang masih kecil. Tidak
diketahui pula beliau pernah berqurban atas nama istri tercinta beliau,
Khodijah radhiyallahu anhu. Begitu pula, tidak diketahui dari para sahabat ada
yang pernah berqurban atas nama orang yang telah meninggal dunia diantara
mereka.
Nabi shallallhu alaihi wasallam
bersabda, “Barangsiapa mengada-ada dalam urusan agama kami yang tidak ada
dasarnya, maka amalannya tertolak.” (Muttafaun alaihi, 4).
Wallahu waliyyut
taufiq, hanya ALLAH yang memberi taufik.At Tauhid: Jatah Panitia Qurban
No comments:
Post a Comment