Thursday, October 2, 2014

At Tuhid: Meraih Taqwa Melalui Ibadah Qurban




Segala puji bagi ALLAH. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.
            Tak diragukan lagi, ibadah qurban adalah ibadah kepada ALLAH dan pendekatan diri kepada-NYA, juga dalam rangka mengikuti ajaran Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Kaum muslimin sesudah beliau pun melestarikan ibadah mulia ini. Tidak ragu lagi ibadah ini adalah bagian dari syari’at islam.
            Sebuah ayat yang menjadi pertanda disyariatkannya ibadah qurban adalah firman ALLAH ta’ala yang artinya, “Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Diantara tafsir ayat ini adalah “Berqurbanlah pada hari raya Idul Adha (yaumun nahr)”. Tafsiran ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thollah dari Ibnu Abbas, juga menjadi pendapat “atho”, mujahid dan jumhur ulama. (lihat Zaadul Masiir, Ibnu Jauzi, 6/195.
            Penyembelihan qurban ketika hari raya Idul Adha disebut dengan al udh-hiyah. Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari iedul Adha dan hari tasryriq dalam rangka mendekatkan diri kepada ALLAH karena datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan shahih fiqih sunnah, II/366). Sehingga makna al udh-hiyah menurut istilah syar’I adalah hewan yang disembelih dalam rangka mendekatkan diri kepada ALLAH ta’ala, dilaksanakan pada hari an nahr dengan syarat-syarat tertentu. (Lihat Mawsuah Al Fiqhiyyah AL Kuwaitiyyah, 2/1525).
            Dari definisi ini, maka yang tidak termasuk dalam al udh0hiyyah adalah hewan yang disembelih bukan dalam rangka taqorrub pada ALLAH seperti untuk dimakan, dijual atau untuk menjamu tamu. Begitu pula yang tidak termasuk al udh-hiyyah adalah hewan yang disembelih di luar hari tasyriq walaupun dalam rangka taqarrub pada ALLAH. Begitu pula yang tidak termasuk al udh-hiyyah adalah hewan untuk aqiqah dan al hadyu yang disembelih di Mekkah. (Lihat Mawsuah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1526).
            Catatan; aqiqah adalah hewan yang disembelih dalam rangka mensyukuri nikmat kelahiran anak yang diberikan oleh ALLAH Ta’ala, baik anak laki-laki maupun perempuan. Sehingga aqiqah berbeda dengan al udh-hiyyah karena al udh-hiyyah dilaksanakan dalam rangka mensyukuri nikmat kehidupan, bukan syukur atas nikmat kelahiran si buah hati. Oleh karena itu, jika seorang anak dilahirkan ketika Idul Adha, lalu diadakan penyembelihan dalam rangka bersyukur atas nikmat kelahiran tersebut, maka sembelihan ini disebut dengan sembelihan aqiqah dan bukan al udh-hiyyah. (Lihat Mawsuah Al Fiqhiyyah AL Kuwaitiyyah, 2/1526)
Keutamaan Qurban
            Menyembelihan qurban termasuk amal shalih yang paling utama. Aisyah radhiyallahu’anhu menceritakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr yang lebih dicintai oleh ALLAH melebihi mengalirkan darah qurban, maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan AL Hakim dengan sanad sholih, lihat Taudhihul ahkam, IV/450)
            Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari Idul Adha lebih utama daripada sedekah yang senilai dengan harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak daripada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada ALLAH. Di samping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syiar islam dan lebih sesuai dengan sunnah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/379 & Syarhul Mumthi, 7/521)
Hikmah di Balik Menyembelih Qurban
            Pertama, bersyukur kepada ALLAH atas nikmat hayat kehidupan yang berikan. Kedua, menghidupkan ajaran Nabi Ibrahim khalilullah alaihis sallam yang ketika itu ALLAH memerintahkan beliau untuk menyembelih anak tercintanya sebagai tebusan yaitu Nabi Ismail alaihis sallam ketika hari an nahr. Ketiga, agar setiap mukmin mengingat kesabaran Nabi Ibrahim dan Ismail yang ini membuahkan ketaatan pada ALLAH dan kecintaan pada-NYA lebih dari diri sendiri dan anak. Pengorbanan seperti inilah yang menyebabkan lepasnya cobaan sehingga Ismail pun diganti menjadi seekor domba. Jika setiap mukmin mengingat kisah ini, seharusnya mereka mencontoh dalam bersabar ketika melakukan ketaatan pada ALLAH dan seharusnya mereka mendahulukan kecintaan ALLAH dari hawa nafsu dan syahwatnya. (Lihat Mawsuah Al Fiqhiyyah AL Kuwaittiyyah, 2/1528). Keempat, ibadah qurban lebih baik daripada bersedekah dengan uang yang semisal dengan hewan qurban. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/379)
Raihlah ikhlas dan Takwa dari Sembelihan Qurban
            Menyembelih qurban adalah suatu ibadah yang mulia dan bentuk pendekatan diri kepada ALLAH, bahkan seringkali ibadah qurban digandengkan dengan ibadah shalat. ALLAH ta’ala berfirman yang artinya, “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah.” (QS. Al Kautsar; 2).
            “Katakanlah; sesungguhnya shalatku, nusuk-ku, hidupku dan matiku hanyalah untuk ALLAH, Rabb semesta alam.” (QS. Al An’am; 162). Di antara tafsiran an nusuk adalah sembelihan, sebagaimana pendapat Ibnu Abbas, Sa’id bin Jubair, Mujahid dan Ibnu Qutaibah. Az Zajaj mengatakan bahwa makna an nusuk adalah segala sesuatu yang mendekatkan diri pada ALLAH, namun umumnya digunakan untuk sembelihan. (Lihat Zaadul Masiir, 2/446).
            Ketahuilah, yang ingin dicapai dari ibadah qurban adalah keikhlasan dan ketakwaan dan bukan hanya daging atau darahnya. ALLAH Ta’ala berfirman yang artinya, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai keridhaan ALLAH, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. AL Hajj: 37)
            Ingatlah, bukanlah yang dimaksudkan hanyalah menyembelih saja dan yang ALLAH harap bukanlah daging dan darah qurban tersebut karena ALLAH tidaklah butuh pada segala sesuatu dan dialah yang pantas diagungkan. Yang diharapkan dari qurban tersebut adalah keikhlasan, ihtisab dan niat yang shalih. Oleh karena itu, ALLAH katakana yang artinya, “Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapai ridho-nya”. Inilah yang seharusnya menjadi motivasi ketika seseorang berqurban yaitu ikhlas, bukan riya atau berbangga dengan harta yang dimiliki dan bukan pula menjalankannya karena sudah jadi rutinitas tahunan.
Menyembelih Qurban Wajib atau Sunnah?
            Menyembelih qurban adalah sesuatu yang disyariatkan berdasarkan Al Quran, As sunnah dan Ijma (consensus kaum muslimin). (lihat Mawsuah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1527) namun apakah menyembelih tersebut wajib ataukah sunnah? Disini para ulama memiliki beda pendapat.
Pendapat pertama; Diwajibkan bagi orang yang mampu
            Yang berpendapat seperti ini adalah Abu Yusuf dalam salah satu pendapatnya, Rabiah, Al Laits bin Sa’ad, al Auza’I, Ats Tsauri, dan Imam Malik dalam salah satu pendapatnya.
            Diantara dalil mereka adalah firman ALLAH ta’ala yang artinya, “Dirikanlah shalat dan berkurbanlah.” (QS. Al Kausar; 2). Ayat ini menggunakan kata perintah dan hukum asal perintah adalah wajib. Jika Nabi shallallahu alaihi wasallam diwajibkan terhadap hal ini, maka begitu pula dengan umatnya. (Lihat Mawsuah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1529) dan masih ada beberapa dalil lainnya.
Pendapat kedua; SUnnah dan tidak wajib
            Mayoritas ulama berpendapat bahwa menyembelih qurban adalah sunnah mu’akkad. Pendapat ini dianut oleh ulama syafi’iyyah, ulama Hambali, pendapat yang paling kuat dari Imam Malik, dan salah satu pendapat dari Abu Yusuf. Pendapat ini juga adalah pendapat Abu Bakar, Umar bin Khottob, Bilal, Abu Mas’ud Al Badriy, Suwaid bin Ghafallah, Sa’id bin Al Musayyab, Atho, Alqomah, Al aswad, Ishaq, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir.
            Diantara dalil mayoritas ulama adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wasalam, “Jika masuk bulan dzulhijjah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih qurban, maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya.” (HR. Muslim). Yang dimaksud disini adalah dilarang memotong rambut dan kuku shohibul qurban (orang yang akan berqurban) itu sendiri.
            Hadis ini mengatakan, “Dan salah seorang dari kalian ingin”, hal ini dikaitkan dengan kemauan. Seandainya menyembelih qurban itu wajib, maka cukuplah Nabi shallallahu alaihi wasallam mengatakan, “Maka hendaklah ia tidak memotong sedikit pun dari rambut dan kukunya.” Tanpa disertai adanya kemauan.
            Begitu pula alasan tidak wajibnya karena Abu Bakar dan Umar tidak menyembelih selama setahun atau dua tahun karena khawatir jika dianggap wajib. (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi). Dari dua pendapat diatas, kami lebih cenderung pada pendapat kedua (pendapat mayoritas ulama)  yang menyatakan menyembelih qurban adalah sunnah dan tidak wajib. Diantara alasannya adalah karena pendapat ini didukung oleh perbuatan Abu Bakar dan Umar yang tidak pernah tidak berqurban. Seandainya tidak ada dalil dari hadis Nabi yang menguatkan salah satu pendapat diatas, maka cukup perbuatan mereka berdua seebagai hujjah yang kuat bahwa qurban tidaklah wajib namun sunnah, “Jika kalian mengikuti Abu Bakar dan Umar, pasti kalian akan mendapatkan petunjuk.” (HR. Muslim).
            Hanya ALLAH yang member taufik dan hidayah. Semoga ALLAH memudahkan kita untuk melakukan ibadah yang mulia ii dan menerima setiap amalan sholih kita. Segala puji bagi ALLAH yang dengan nikmat-NYA segala amalan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, Keluarga, dan Para Sahabatnya.At Tauhid: Meraih Taqwa Melalui Ibadah Qurban

No comments:

Post a Comment