Saturday, October 4, 2014

At Tauhid: Jatah Panitia Qurban






            Sebagian jagal (tukang sembelih qurban) kadang mengambil jatah upahnya dari daging sembelihan qurban, walau ia juga sudah mendapatkan jatah bayaran. Kadang juga sebagai upah, jagal tersebut diberi kulit. Terkadang ia pun mendapatkan jatah daging yang lebih dari pembagian lainnya pada masyarakat. Jika asalnya warga diberi 1 kg daging, mungkin jagal bisa dapat jatah 2 kg. lebihnya inilah yang dianggap sebagai tambahan upah. Padahal namanya qurban itu diserahkan segala hasilnya secara Cuma-Cuma, bukan maksud mendapatkan timbale balik barang atau uang seperti dalam jual beli atau timbale balik jasa sebagaimana mengupahi. Karena jika sebagian hasil qurban semisal kulit atau daging diserahkan pada tukang jagal, maka itu sama saja menjual. Padahal telah terlarang menjual dari hasil qurban apa pun itu.
            Nah, itulah pula yang disinggungkan kali ini mengenai kebiasaaan sebagian panitia yang memanfaatkan hasil qurban untuk makan-makan mereka. Ini sebenarnya tidak jauh dari upah untuk panitia. Panitia yang menyembelih, memotong dan menguliti qurban sama saja dengan jagal, mereka bukanlah amil seperti dalam zakat, namun sebagai wakil shohibul qurban untuk menyembelih hewannya.
Masalah Upah Untuk Jagal Dari Hasil Qurban
            Dalil terlarangnya member upah pada jagal dari hasil sembelihan qurban sebagaimana terdapat dalam riwayat yang disebutkan oleh Ali bin Abi Tholib, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin) aku tidak member sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan member upah kepada tukang jagal dari uang kami semdiri.” (HR. Muslim)
            Dari hadis ini, Imam Nawawi mengatakan, “Tidak boleh member tukang jagal sebagian hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya.” Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, juga menjadi pendapat Atho’, An Nakho’I, Imam Malik, Imam Ahmad dan Ishaq. (Syarh Muslim, An Nawawi, 4: 453). Dalam Kifayatul Akhyar (hal. 489) karya Abu Bakr bin Muhammad Al Husayinniy Al Hushniy Asy Syafi’I disebutkan, “Yang namanya hasil qurban adalah dimanfaatkan secara Cuma-Cuma, tidak boleh diperjualbelikan. Termasuk pula tidak boleh menjadikan kulit qurban tersebut sebagai upah untuk jagal, walau qurbannya adalah qurban yang hukumnya sunnah.”
            Namun sebagian ulama ada yang membolehkan memberikan upah kepada tukang jagal dengan kulit semacam AL hasan Al Bashri. Belian mengatakan, “Boleh member jagal upah dengan kulit.” Imam Nawawi lantas menyanggah pernyataan tersebut, “Perkataan beliau ini telah membuang sunnah (ajaran Rasul shallallahu alaihi wasallam, 4: 453)
            Dalam AL Mawsu’ah Al Fiqhiyyah AL Kuwaitiyah (5: 105) disebutkan, “Ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat; haram memberikan upah kepada tukang jagal dari hasil qurban dengan alasan hadis Ali radhiyallahu anhu yang telah disebutkan. Namun kalau diserahkan kepada tukang jagal tersebut karena statusnya miskin atau dalam rangka member hadiah, maka tidaklah mengapa. Tukang jagal tersebut boleh saja memanfaatkan kulitnya. Namun tidak boleh kulit dan bagian hasil qurban lainnya dijual.”
            Sehingga yang tepat, upah jagal bukan diambil dari hasil sembelihan qurban baik daging maupun kulitnya. Namun shohibul qurban melalui panitia qurban hendaknya menyediakan upah khusus dari kantongnya sendiri untuk tukang jagal tersebut.
Masalah Jatah dan Makan-Makan Panitia
            Panitia yang bertugas untuk menguliti, mengiris daging, membagi dan mendistribusikan ke masyarakat termasuk dalam kategori tukang jagal dan orang yang mengurusi hewan kurban. Panita boleh menerima dan memakan daging kurban namun dalam kapasitas dia sebagai masyarakat yang diberi jatah pembagian daging kurban, sehingga daging yang ia bawa pulang sama dengan yang diperoleh tetangga lainnya yang tidak menjadi panitia.
            Contohnya cara pembagian yang dibolehkan: warga desa kampong A berqurban 5 ekor sapid an 13 ekor kambing. Setelah dihitung, masing-masing kepala keluarga mendapat jatah 2 kg daging sapid an ½ kg daging kambing. Semua merata tanpa memperhatikan status, baik panitia maupun bukan panitia. Contoh cara pembagian yang terlarang 1: warga desa kampong A berqurban 5 ekor sapid an 13 ekor kambing. Setelah dihitung, masing-masing kepala keluarga mendapatkan jatah 2 kg daging sapi dan ½ kg daging kambing. Khusus untuk panitia mendapat jatah tambahan masing-masing ½ kg daging sapi sebagai ganti jasa mereka yang telah mengurusi hewan qurban. Dalam keluarga Pak Ahmad ada 4 orang yang terlibat sebagai panitia, yaitu Pak Ahmad, Bu Ahmad, dan 2 putranya. Sehingga keluarga Pak Ahmad mendapatkan jatah 4 kg daging sapi dan ½ kg daging kambing. Keluarga Pak Ahmad mendapatkan kelebihan jatah 2 kg sapi karena anggotanya yang terlibat 4 orang x ½ kg = 2 kg.
            Contoh cara pembagian yang terlarang 2: sebagai bentuk imbal jasa bagi panitia qurban maka panitia mengambil 1 ekor kambing untuk disembelih sebagai jamuan makan bersama bagi panitia. Disamping itu, panita juga mendapatkan jatah yang sama dengan warga yang lainnya. Dengan demikian, panitia mendapat tambahan jatah pembagian qurban yang mereka jadikan sebagai menu makan bersama.
            Untuk keperluan kepanitiaan, baik untuk administrasi secretariat, pembelian kantong plastic, sewa tenda, upah jagal dan orang-orang yang membantu dalam kepanitiaan, konsumsi dan transportasi hendaklah biayanya dibebankan kepada orang yang berkurban atau sumbangan lainnya. Daging kurban seluruhnya dibagi untuk masyarakat tanpa membedakan panita atau bukan panitia.

Qurban Atas Nama Mayat

            “Bolehkah berkurban atas nama mayat?”
            Para ulama berselisih pendapat mengenai keabsahan qurban untuk mayat jika bukan karena wasiat. Dalam madzhab Syafi’I, qurbannya tidak salah kecuali jika ada wasiat dari mayat. Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam AL Minhaj, “Tidak sah qurban untuk orang lain selain dengan izinnya. Tidak sah pula qurban untuk mayat jika ia tidak member wasiat untuk qurban tersebut.”
            Kita dapat membagi berqurban untuk mayat menjadi tiga rincian sebagai berikut: pertama, berqurban untuk mayat hanya sebagai ikutan. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya termasuk yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Dasar dari bolehnya hal ini adalah karena Nabi shallallahu alaihi wasalm pernah berqurban untuk dirinya dan keluarganya, termasuk di dalamnya yang telah meninggal dunia.
            Bahkan jika seseorang berqurban untuk dirinya, seluruh keluarganya baik yang masih hidup maupun yang telah mati, bisa termasuk dalam niatan qurbannya. Dalilnya, “Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ada seseorang suami menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
            Asy Syaukani mengatakan, “Dari berbagai perselisihan ulama yang ada, yang benar, qurban kambing boleh diniatkan untuk satu keluarga walaupun dalam keluarga tersebut ada 100 jiwa atau lebih.” (Asy Syaukani 8: 125, Mawqi Al Islam). Kedua, berqurban untuk mayat atas dasar wasiatnya (sebelum meninggal dunia). Hal ini dibolehkan berdasarkan firman ALLAH Ta’ala yang artinya, “Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya ALLAH Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 181).
            Ketiga, berqurban dengan niatan khusus untuk mayat, bukan sebagai ikutan dan tidak ada wasiat, maka seperti ini tidak ada contoh dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Karena Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak pernah berqurban untuk salah satu orang yang telah meninggal dunia dengan niatan khusus. Beliau tidah pernah berqurban atas nama pamannya, Hamzah radhiyallahu anhu, padahal dia termasuk kerabat terdekat beliau. Tidak diketahui bahwa beliau pernah berqurban atas nama anak-anak beliau yang telah meninggal dunia, yaitu tiga anak perempuan beliau yang telah menikah dan dua anak laki-laki yang masih kecil. Tidak diketahui pula beliau pernah berqurban atas nama istri tercinta beliau, Khodijah radhiyallahu anhu. Begitu pula, tidak diketahui dari para sahabat ada yang pernah berqurban atas nama orang yang telah meninggal dunia diantara mereka.
            Nabi shallallhu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa mengada-ada dalam urusan agama kami yang tidak ada dasarnya, maka amalannya tertolak.” (Muttafaun alaihi, 4).
Wallahu waliyyut taufiq, hanya ALLAH yang memberi taufik.At Tauhid: Jatah Panitia Qurban

No comments:

Post a Comment