Sunday, June 30, 2013

My Trip In The Dumai



Dumai

            Dumai is a city in the province of Riau, Indonesia, about 188 km from the city of Pekanbaru. Previously, Dumai city is the second largest city in Indonesia after Manokwari. However, since the Manokwari district Wasior broken and formed, it becomes the widest Dumai. Recorded in history, Dumai is a small hamlet on the east coast province Riau is now starting to squirm a pearl on the east coast of Sumatra. Dumai is the result of the division of Bengkalis. Inaugurated as a city on April 20, 1999, by Law no. 16 1999 20 April 1999 having previously had a city administrative (Kotif) in Bengkalis. At the beginning of its formation, Dumai City only consists of 3 districts, 13 villages and 9 villages with a population of only 15,699 inhabitants with density 83.85 inhabitant/km2

Friday, June 28, 2013

At-Tauhid: Dan Jika Aku Sakit, Dia Yang Menyembuhkan



Dan Jika Aku Sakit, Dia Yang Menyembuhkan

            Sesuatu yang tidak akan dipungkiri siapa pun adalah kehidupan ini tidak hanya dalam satu keadaan. Ada senang, ada duka. Ada canda, begitu juga tawa. Ada sehat, namun juga adakalanya sakit. Dan semua ini adlah sunnatullah yang mesti dihadapi siapa pun.

At-Tauhid: Hakikat Dan Buah Ilmu, Sebuah Rahasia Kejayaan



Hakikat Dan Buah Ilmu, Sebuah Rahasia Kejayaan

            Dari Umar bin khathaab, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya ALLAH akan mengangkat sebagian kaum dengan Kitab ini (Al-Quran), dan akan merendahkan sebagian kaum yang lain dengannya pula”. (HR. Muslim).

Thursday, June 27, 2013

At-Tauhid: Ikhlas Karunia Terbesar




Ikhlas Karunia Terbesar

            Ikhlas, amatlah kita perlukan. Karena inilah landasan setiap amalan itu diterima. Berikut beberapa nukilan dari ulama tentang pentingnya ikhlas dalam beramal.

Tuesday, June 25, 2013

At-Tauhid: Pengaruh Iman Kepada Sifat Rahmat ALLAH



Pengaruh Iman Kepada Sifat Rahmat ALLAH
            Kaum muslimin yang dirahmati ALLAH, mengimani sifat-sifat ALLAH adalah kewajiban kita sebagai seorang muslim. Salah satu sifat ALLAH yang wajib untuk kita yakini adalah sifat rahmat/kasih sayang. ALLAH Ta’ala memiliki sifat rahmat. Sifat ini telah ditetapkan di dalam al-Kitab maupun as-Sunnah.
            Misalnya, ALLAH Ta’ala berfirma dalam surat Al-Fatihah yang artinya, “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Fatihah; 3). ALLAH Ta’ala juga berfirman yang artinya, “Dan adalah ALLAH itu Maha Penganpunan Lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nisaa’; 96).
            Didalam Sunnah, misalnya dalam hadis yang diriwayatkan oleh Umar bin al-Khathatbab, beliau menceritakan bahwa suatu ketika ada serombongan tawanan perang yang dihadapkan kepada Rasulullah. Di tengah-tengah mereka ada seorang ibu yang kebingungan mencari bayinya. Setiap kali menemukan seorang bayi maka dia pun mendekap dan menyusuinya. Maka, Rasulullah bertanya kepada para sahabat, “Apakah menurut kalian ibu ini tega untuk melemparkan bayinya kedalam kobaran api?”. Para sahabat menjawab, “Tidak, demi ALLAH!”. Lalu Nabi bersabda, “Sungguh ALLAH lebih penyayang kepada hambanya daripada ibu ini kepada anaknya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
            Namun, perlu dicermati bahwa rahmat ALLAH itu terbagi menjadi dua; rahmat yang umum dan rahmat yang khusus. Rahmat yang umum diperoleh siapa pun, orang beriman maupun orang kafir, orang yang taat maupun yang maksiat. Yang dimaksudkan adalah rahmat di dunia semata. Sebagaimana firman ALLAH yang menceritakan ucapan para malaikat yang artinya, “Wahai Rabb kami, maha luas rahmat dan ilmu-MU meliputi segala sesuatu”. (QS. Ghafir/ Al Mu’min; 7)At-Tauhid: Pengaruh Iman Kepada Sifat Rahmat ALLAH
           

At-Tauhid: Ibarat Kebun Yang Kandas Sebelum Disabit



Ibarat Kebun Yang Kandas Sebelum Disabit
            Diantara metode Al-Quran dalam menyampaikan ajarannya adalah dengan menggunakan permisalan, karena permisalan itu akan lebih mendekatkan pemahaman dari selainnya. Diantara sekian banyak permisalan yang terdapat dalam Al_Quran adalah permisalan dan perumpamaan kehidupan dunia.
            ALLAH Ta’ala berfirman yang artinya, “Perumpamaan kehidupan dunia itu hanyalah laksana air hujan Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai pula perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya tiba-tiba datanglah kepadanya azab  Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan tanam-tanamannya  laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada orang-orang berfikir”. (QS. Yunus; 24).
            Tentang permisalan ini, Syaikh Abdurrahman As Sa’di mengatakan, “Perumpamaan ini termasuk perumpamaan yang paling bagus. Permisalan ini sesuai dengan keadaan dunia. Karena sesungguhnya kelezatannya, syahwatnya, kedudukannya dan semacamnya membuat silau penghuninya meski hanya sesat. Maka apabila telah lengkap dan sempurna (keindahannya), seketika lenyap, atau pemiliknya yang hilang darinya mati. Jadilah kedua tangannya kosong, dan hati dipenuhi rasa kesedihan, keresahan dan kerugian”. (Taisirul Karimirrahman, hal.339).At-Tauhid: Ibarat Kebun Yang Kandas Sebelum Disabit
           

At-Tauhid: Faidah Seputar Tauhid



Faidah Seputar Tauhid
            Syaikh as Sa’di berkata: “Tidak ada suatu perkara yang memiliki dampak yang baik serta keutamaan yang beraneka ragam seperti halnya tauhid. Karena sesungguhnya kebikan di dunia dan diakhirat itu semua merupakan buah dari tauhid dan keutamaan yang muncul darinya”. (Lihat al-Qaul as Sadid fi Maqashid at Tauhid, hal 16).
Bukan Istilah Baru
            Sahabat Ibnu Abbas mengatakan : Ketika mengutus Mu’ads menuju Yaman, Nabi berpesan kepadanya, “ Sesungguhnya kamu akan menjumpai suatu kaum dari kalangan Ahli Kitab. Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan ALLAH Ta’ala…”. (HR. Bukhari dalam kitab At-Tauhid).
            Sahabat Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Nabi bersabda, “Islam dibangun diatas lima perkara : tauhid kepada ALLAH, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa ramadhan dan haji”. (HR. Muslim dalam kitab Al-Iman).At-Tauhid: Faidah Seputar Tauhid

At-Tauhid: Akhlak Dalam Bertetangga



Akhlak Dalam Bertetangga

            Islam adalah agama rahmah yang penuh kasih saying. Dan hidup rukun dalam bertetangga adalah moral yang sangat ditekankan dalam islam. Jika umat islam memberikan perhatian dan menjalankan poin penting ini, niscaya akan tercipta kehidupan masyarakat yang tentram, aman dan nyaman.
Batasan Tetangga
            Siapakah yang tergolong tetangga? Apakah batasanya? Karena besarnya hak tetangga bagi muslim dan adanya hukum-hukum yang terkait dengannya, para ulama pun membahas mengenai batasan tetangga. Para ulama khilaf dalam banyak pendapat mengenai hal inni. Sebagian mereka mengatakan tetangga dalah orang-orang yang shalat subuh bersamamu; sebagian lagi mengatakan 40 rumah dari setiap sisi, sebagian lagi mengatakan 40 rumah disekitarmu, 10 rumah dari setiap sisi dan beberapa pendapat lainnya (lihat Fathul Baari, 10/367).
            Namun pendapat-pendapat tersebut dibangun atas riwayat-riwayat yang lemah. Oleh karena itu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata: “Semua riwayat dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang berbicara mengenai batasan tetangga adalah lemah tidak ada yang shahih. Maka zhahirnya, pembatasan yang benar adalah sesuai “Urf” (adat kebiasaan di suatu tempat) (Silsilah Ahadis Dha’ifah, 1/446). Sebagaimana kaidah Fiqhiyyah yang berbunyi “al urfu haddu maa lam yuhaddidu bihi asy syar’u (adat kebiasaan adalah pembatasan bagi hal-hal yang tidak dibatasi oleh syariat) sehingga yang tergolong tetangga bagi kita adalah setiap oran yang menurut adat kebiasaan setempat dianggap sebagai tetangga kita.At-Tauhid: Akhlak Dalam Bertetangga

Monday, June 24, 2013

At-Tauhid: Menjadikan Selain ALLAH Perantara Dalam Doa



Menjadikan Selain ALLAH Perantara Dalam Doa

            Di antara bentuk kesyirikan yang dapat membatalkan keislaman adalah menjadikan selain ALLAH sebagai perantara kepada ALLAH dalam berdo’a, meminta syafa’at hingga bertawakal padanya. Bagaimanakah bentuk menjadikan selain ALLAH sebagai perantara yang terjatuh dalam perbuatan syirik? Dan kapan mengambil perantara tidak dianggap syirik?
            Perlu diketahui bahwa menjadikan antara hamba dan ALLAH perantara, ada dua hal yang dimaksud:
1.      Perantara untuk tersampainya risalah atau ajaran islam antara ALLAH dan umat-NYA, maka itu benar adanya. Bahkan jika perantara seperti ini diingkari, maka seseorang bisa kafir. Harus ada penyampai risalah antara hamba dan ALLAH melalui utusan dari malaikat dan melalui utusan dari manusia yaitu para Rasul. Siapa saja yang mengingkarinya, maka ia kafir. Oleh karena itu, jika ada yang mengatakan bahwa kita tidak buth perantara dalam risalah dan bisa mendapatkanya dari ALLAH secara langsung tanpa melalui perantara tersebut, mereka mengatakan bahwa mereka mengambil ilmu dari ALLAH secara langsung tanpa melalui perantara Rasul, maka yang seperti ini merupakan kesyirikan berdasarkan ijma’ (kata sepakat) ulama.
2.      Perantara antara hamba dan ALLAH yang membuat seseorang meminta doa kepadanya, meminta syafaat kepadanya, dan bertawakal kepadanya. Perantara semacam ini jika ada yang menetapkannya, berarti ia telah berbuat kesyirikan secara ijma’. Karena perlu dipahami bahwasanya tidak ada perantara antara diri kita dan ALLAH dalam hal ibadah. Bahkan kita harus beribadah dan berdoa pada ALLAH secara langsung tanpa melalui perantara. Syafaat itu diminta kepada ALLAH tanpa melalui perantara. Kemudian kita pun bertawakal kepada ALLAH Ta’ala tanpa perantara. Karena ALLAH berfirman yang artinya, “Berdoalah kepada-KU, niscaya akan kuperkenankan bagimu”. (QS. Ghafir: 60).
            Siapa yang menetapkan butuhnya perantara dalam doa, maka ia telah berbuat kesyirikan. Karena pada saat itu, ia telah menjadikan antara dirinya dan ALLAH perantara sehingga dipalingkanlah ibadah pada selain ALLAH untuk tujuan taqorrub (mendekatkan diri) padanya. Hal ini serupa dengan perrkataan orang musyrik, “Dan mereka menyembah selain ALLAH apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfaatan, dan mereka brrkata; “mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami disisi ALLAH”. (QS. Yunus: 18). Di sini menjadikan selain ALLAH perantara dalam meminta syafaat dinamakan ibadah.
            “Katakanlah: Apakah kamu mengabarkan kepada ALLAH apa yang diketahui-NYA baik di langit dan tidak pula dibumi?” maha suci ALLAH dan Maha Tinggi dan apa yang mereka persekutuan itu”. (QS. Yunus: 18). Seperti  ini disebut syirik dan ALLAH berlepas diri darinya. Inilah kondisi nyata yang terdapat pada pengagung kubur saat ini. Mereka menjadikan para wali dan orang sholih sebagai perantara menuju ALLAH. Ketika mereka melakukan sembelihan yang ditujukan untuk orang sholih di sisi kubur mereka, melakukan nadzar yang ditujukan pada mereka dan beristighotsah (meminta dihilangkan musibah) pada mereka, dan berdoa meminta kepada mereka. Jika kita membantah mereka bahwasanya ini syirik, mereka malah menyangkal sembari menjawab, “Ini hanyalah perantara antara diri kami dengan ALLAH”. Mereka akan menjawab, “Kami tidak menyakini mereka adalah pencipta, pemberi rizki dan pengatur alam semesta selain ALLAH. Kami Cuma menjadikan mereka sebagai perantara antara diri kami dengan ALLAH. Nanti merekalah yang menyampaikan hajat-hajat kami pada ALLAH”. Lalu mereka melakukan penyembelihan, mengangung-agungkan, melakukan nadzar pada mereka orang sholih dengan alasan bahwa mereka orang sholih adalah perantara antara diri mereka dengan ALLAH. Inilah sebenarnya syirik yang terjadi di masa silam sebagaimH berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang mengambil wali (pelindung) selain ALLAH berkata: “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada ALLAH dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya ALLAH akan memutuskan diantara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya ALLAH tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat kufur”. (QS. Az-Zumar: 3). Perbuatan yang mereka lakukan dengan menjadikan selain ALLAH sebagai perantara disebut dusta dan kufur.At-Tauhid: Menjadikan Selain ALLAH Perantara Doa


At-Tauhid: Mendudukkan Akal Pada Tempatnya



Mendudukkan Akal Pada Tempatnya

            Betapa banyak orang yang mendewakan akal. Setiap perkara selalu dia timbang-timbang dengan akal atau logikanya terlebih dahulu. Walaupun sudah ada nash Al-Quran atau Hadis, namun jika bertentangan dengan logikanya, maka logika lebih dia dahulukan daripada dalil syar’i. inilah yang biasa terjadi pada ahli kalam. Lalu bagaimanakah mendudukkan akal yang sebenarnya? Apakah kita menolak dalil akal begitu saja? Ataukah kita mesti mendudukkan pada tempatnya?.

Friday, June 21, 2013

At-Tauhid: Luasnya Makna Ibadah



Luasnya Makna Ibadah

            ALLAH Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat:56)
Jangan Terlalu Sempit Memahami Ibadah
            Sebagian orang bertanya dengan maksud meragukan penjelasan ayat diatas. Apa benar kita diciptakan untuk beribadah saja? Lalu apa kita harus sholat terus sepanjang hidup kita? Atau bersujud terus melewati hari-hari kita? ALLAh Ta’ala tidak mungkin salah dalam berfirman. Begitu juga dengan penjelasan para ulama tentang ayat diatas bukanlah suatu penjelasan yang keliru. Hal yang harus diluruskan adalah pandangan dan pemahaman kita dalam memaknai kata “Ibadah”. Ibadah bukan hanya sholat, zakat, puasa dan haji semata.
            Ibnu Taimiyah mendefinisikan makna ibadah dengan definisi yang sangat bagus. Kata beliau, ibadah adalah segala perkara yang dicintai oleh ALLAH Ta’ala, baik berupa perkataan ataupun perbuatan, yang nampak atupun yang tidak nampak. (liihat Al-Ubudiyah, Ibnu Taimiyah).
Bekali diri dengan Ilmu
            Bagaimana cara mengetahui bahwa perkara ini dicintai ALLAH Ta’ala atau tidak? Bagaimana membedakan bahwa perkara itu mendatangkan keridhaan-NYA atau justru mengundang murka-NYA? Inilah hikmah mengapa Rasulullah dengan tegas memerintahkan umatnya untuk belajar, mencari ilmu, mempelajari tentang agamanya. Rasulullah bersabda, “Menuntut ilmu agama adalah perkara yang wajib bagi setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah, shahih).
            Tujuan utamanya adalah agar seorang hamba bias mengetahui mana perkara-perkara yang dicintai oleh ALLAH Ta’ala yang kemudian bisa dia amalkan, dan dia bisa mengetahui mana perkara yang dimurkai oleh ALLAH yang kemudian dia bisa meninggalkanya. (lihat Tssmaratul Ilmi Al-Amal, Syaikh Abdurrozzaq Al Badr).
Kaidah Dalam Mendefinisikan Ibadah
            Hukum suatu perbuatan di dalam agama islam ada lima, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Secara asalnya, ibadah dalam agama islam hanya dengan dua bentuk pengamalan saja, yaitu:
1.      Mengerjakan perkara yang wajib atau mengerjakan perrkara yang sunnah, contohnya adalah seseorang mengerjakan sholat baik yang sholat wajib atau sunnah, berpuasa baik puasa yang wajib atau sunnah, dll.
2.      Meninggalkan perkara yang haram atau meninggalkan perkara yang makruh, contohnya adlah seseorang meninggalkan kesyirikan, menjauhi perbuatan zina, menjauhi minum khamnr
            Adapun semata-mata perkar mubah pada dasarnya tidak bisa dijadikan sebagi ibadah. Perkara yang sifatnya mubah hukumnya relative, mengikuti niat dan tujuan dari pelakunya.
1.      Apabila dia niatkan untuk membantu mengerjakan perkara wajib/sunnah atau membantu meninggalkan perkara makruh/haram maka perkara mubah tersebut akan berpahala dan dinilai sebagai sebuah ibadah.
2.      Apabila dia niatkan perkara mubah tersebut untuk membantu mengerjakan perkara haram atau membantu meninggalkan perkara wajib maka pelaku perkara mubah tersebut akan berhak mendapatkan dosa.
3.      Apabila ketika mengerjakan perbuatan mubah seseorang tidak memiliki tujuan dan maksud apapun, melainkan hanya sebatas perbuatan mubah itu saja dan tidak ada tujuan dan maksud lainnya, maka pelaku perbuatan mubah tersebut tidak berhak mendapatkan pahala dan tidak pula mendapatkan dosa. (penjelasan Syaikh Abdul Aziz Ar Rays Hafizhahullah dalam rekaman kajian Al Muqaddimat Fii Dirasatit Tauhid).
            Hal ini akan lebih jelas jika disertai dengan contoh, misalnya adalah perbuatan makan. Makan adalah  perkara yang mubah. Seseorang tatkala makan, jika dia berniat mengamalkan perintah ALLAH Ta’ala dalam firman-NYA yang artinya, “Dan makanlah dan minumlah kalian”. (QS. Al-A’raf:31). Dan dia berrniat agar badannya sehat dan kuat untuk bisa mengerjakan sholat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya, maka perbuatan maknanya tadi bernilai ibadah.
            Sedangkan orang yang makan yang berniat untuk bisa memiliki badan yang kuat dan kemudian bisa memukuli orang-orang di sekitarnya dengan kekuatannya, atau bisa kuat mencuri, atau bisa berzina maka perbuatan mkannya tadi dihitung sebagai dosa.
            Adapun orang yang makan berniat sebatas kebiasaan dan hanya untuk mengobati rasa laparnya semata, maka yang dia dapatkan adalah apa yang dia inginkan tersebut, yaitu rasa kenyang (tidak mendapatkan dosa dan tidak pula pahala). (Syarah Arba’in Nawawiyah Syaikh Ibnu Utsaimin dengan sedikit penambahan).
Ibadah: Aktifitas Yang Harus Benar Niat Dan Tata Caranya
            Ibadah adalah perpaduan benarnya amalan dzahir dan benarnya amalan bathin. Amalan dzahir yang benar adalah amalan yang sesuai dengan tuntunan. Rasulullah. Amalan bathin yang benar adalah ikhlas semata-mata ibadah terrsebut untuk ALLAH Ta’ala dan mengharapkan pahala dari ALLAH Ta’ala.
            Perkara niat merupakan perkara yang teramat penting untuk dibahas. Inilah rahasia mengapa Islam sangat perhatian terhadap pembahasan niat, diatas pembahasan tentang perkara agama yang lainnya. Niat ada di dalam hati, tidak nampak secara dzahir, namun meskipun tidak nampak, niat sangat menentukan balasan yang akan diterima.
            Rasulullah bersabda, “Setiap amalan manusia tergantung dengan niatnya, dan setiap manusia akan mendapatkan balasan dari ALLAh sesuai dengan apa yang dia niatkan…”. (Muttafaqun alaihi)
            Ibdah itu luas, namun tetap perlu di tegaskan bahwa tata cara ibadah yang pokok yang bersifat ritual tidak boleh sembarangan, meskipun niatnya baik dan benar. Ternyata niat yang baik saja tidaklah cukup, harus disertai dengan amalan yang benar, yaitu sesuai dengan petunjuk ALLAH dan Rasulullah, harus  ada dalilnya dari Al-Quran atau dari hadis Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang beramal ibadah dengan amalan yang tidak ada petunjuknya dai kami, maka amalan tersebut akan tertolak (tidak diterima sebagai ibadah)”. (HR. Muslim)
Contoh Ibadah pokok yang tidak boleh sembarangan: Berzikir
            Ketika seseorang mau berpergian, ia terbiasa membaca surat Al-Fathiah sebanyak 3 kali. Berzikir pada dasarnya adalah sesuatu yang disyari’atkan. Akan tetapi, menentukan bacaan tertentu seperti diatas, yakni membaca surat Al-Fatihah 3 kali setiap akan berpergian, membutuhkan dalil khusus dan tidak boleh sembarangan. Tidak boleh pula beralasan “yang penting niatnya baik”. Karena ibadah pokok yang bersifat ritual harus sesuai dengan apa yang ALLAh dan Rasul-NYA ajarkan.
Contoh perbuatan bernilai ibadah: Naik Kendaraan
            ALLAH Ta’ala berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada ALLAH, taatlah kalian kepada Rasul, dan kepada Ulil Amri (pemerintah) kalian”. (QS. An-Nisaa: 59).
            Salah satu perintah ALLAH Ta’ala dalam ayat diatas adalah perintah kepada para hamba-NYA untuk taat kepada peraturan pemerintah. Missal: seorang pengendara motor mentaati segala bentuk peraturan lalu lintas (misalnya dengan mengenakan helm, membawa SIM lengkap dengan STNKnya dan mentaati rambu dan lampu lalu lintas dan lain-lain) dengan niat tulus mengamalkan firman ALLAH Ta’ala terrsebut, yaitu mentaati peraturan pemerintah, maka ini akan dinilai oleh ALLAH Ta’ala sebagai amalan ibadah dan upaya pendekatan diri kepada ALLAH Ta’ala.
Contoh: Menyingkirkan Gangguan di Jalan
            Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya iman terdiri dari tujuh puluh sekian cabang, cabang tertinggi adalah perkataan Laa Ilaha Illallahu, dan cabang terendah adalah menyingkirkan gangguan di jalan “. (HR. Muslim)
            Salah satu perintah islam kepada kaum muslin adalah perintah untuk menyingkirkan gangguan dari jalan, boleh jadi berupa duri, atau kulit pisang atau sampah atau gangguan lainnya. Seseorang yang menyingkirkan gangguan dari jalan dengan niat tulus ikhlas mengamalkan sabda Rasulullah tersebut, dengan maksud agar tidak ada kaum muslimin yang terganggu atau mengalami kecelakaan, maka perbuatannya tersebut berrnilai ibadah kepada ALLAH Ta’ala dan ALLAH menjanjikan pahala baginya.
            Semoga ALLAH Ta’ala berkenan menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat, sehingga kita bisa memahami mana saja perkara ibadah yang ALLAH cintai, dan yang lebih penting lagi adalah agar kita bisa mengamalkannya di kehidupan kita sehari-hari, sehingga kita bisa menjadikan seluruh hidup kita ini bernilai ibadah disisi ALLAH Ta’ala.



At-Tauhid: Larangan Mendahului ALLAH dan Rasul-NYA



Larangan Mendahului ALLAH dan Rasul-NYA

            ALLAH Ta’ala berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahuli ALLAH dan Rasul-NYA dan bertakwalah kepada ALLAH. Sesungguhnya ALLAH Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Hujurat: 1).
Penjelasan Global
            ALLAH Ta’ala memanggil hambanya dengan sifat iman. Penafsiran iman kepada seseorang hamba merupakan sifat agung yang apabila seorang muslim merealisasikan keimana dalam dirinya akan membawa dirinya untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan ALLAH. Dalam ayat tersebut ALLAH melarang mereka dari mendahului ALLAH dan Rasul-nya dalam setiap keadaan.
            Imam Ibnu Jarir At-Thabari berkata, “Firman ALLAH yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman”. Mkasudnya wahai orang-orang yang telah menyakini keesaan ALLAH dan kenabian Muhammad. Firman ALLAH yang artinya “Jangan lah kamu mendahului ALLAH dan Rasul-NYA”, maksudnya janganlah kalian mendahului ketentuan ALLAH dalam urusan peperangan dan agama kalian sebelum ALLAH dan Rasul-NYA menetapkan perkara tersebut, sehingga kalian menetapkan yang tidak sesuai dengan perintah ALLAH dan Rasul-NYA…”.
            Makna ayat ini secar umum yaitu, “Janganlah memutuskan suatu perkara kecuali ALLAH dan Rasul-NYA telah memutuskannya, dan janganlah mendahului keputusan ALLAH dan Rasul-NYA. Imam Ibnu Jarir menjelaskan, “Adapun tentang ayat yang artinya (bertakwalah kepada ALLAH. Sesungguhnya ALLAH Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui). Maksudnya takutlah wahai orang-orang beriman kepada ALLAH dalam perkataan kalian, jangan mengatakan sesuatu yang tidak diperbolehkan oleh ALLAH dan Rasul-NYA serta dalam perkara-perkara lainnya. Dan waspadalah, sesungguhnya ALLAH Maha Mendengar terhadap apa yang kalian ucapkan, dan Maha Mengetahui terhadap apa yang kalian inginkan ketika kalian berbicara. Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari seluruh urusan kalian dan orang-orang selain kalian”.
Penjelasan ALLAH Tafsir tentang Makna Mendahului ALLAH dan Rasul-NYA
            Terdapat beberapa penjelasan perkataan ulama ahli tafsir tentang makna “Janganlah kamu mendahului” namun semuanya memiliki makna yang sama. Ibnu Abbas dalam riwayat Ali Bin Abu Thalhah berkata, “Jangan lah kalian mengatkan sesuatu yang menyelisih Al-Kitab dan As- Sunnah”. Dalam riwayat “Athiyyah Al’Ulfi, Ibnu Abbas mengatakan, “ALLAH melarang kalian berbicar mendahului kalam ALLAH”.
            Imam Mujahid berkata, “Janganlah kalian berfatwa tentang suatu perkara mendahului Rasulullah sampai ALLAH memutuskan perkara tersebut melalui lisan beliau”. Imam Al-Hasan berkata,”Mereka adalah sekelompok kaum yang menyembelih pada saat hari raya kurban sebelum Nabi melakukan shalat Idul Adha. Kemudian Nabi memerintahkan mereka untuk mengulang menyembelih hewan kurban”.
            Imam Adh Dhahak berkata,”Janganlah memutuskan sesuatu selain ALLAH dan Rasul-NYA dalam urusan syaria’at agama kalian”. Ibnu Zaid berkata, “Janganlah memutuskan sesuatu selain ALLAH dan Rasul-NYA”. Imam Sufyan berkata,”janganlah memutuskan sesuatu kecuali Rasulullah Shallallhu alaihiwasallam”.
            Seluruh penjelasan ulama diatas benar. Perbedaan yang ada hanyalah perbedaan redaksi, namun maknanya tidak saling kontradiksi. Semuanya memiliki makna yang sama, dan makna ayat mencakup seluruh penjelasan diatas.
Hukum mendahului ALLAH dan Rasul-NYA

            Tidak boleh mendahului ALLAH dan Rasul-NYA dalam beberapa perkara, seperti masalah penghalalan sesuatu, pengharaman sesuatu, penetapan syariat, dan sebagainya. Perkara tersebut haram hukumnya dan seorang mukmin terlarang untuk melakukannya.
            Imam Al Amin Asy Syinqithi berkata, “Ayat ini merupakan penjelasan tentang larangan mendahului ALLAH dan Rasul-NYA. Termasuk dalam hal ini yang pertama adalah membuat syariat yang terlarang, mengharamkan segala sesuatu yang tidak diharamkan, menghalalkan segala sesuatu yang tidak halal. Hal ini tidak diperbolehkan, karena tidak ada keharaman kecuali yang ALLAH haramkan, tidak ada kehalalan kecuali yang ALLAH halalkan, dan tidak ada agama kecuali dengan yang ALLAH syariatkan”.
Ayat-ayat yang Melarang untuk Mendahului ALLAH dan Rasul-Nya

            Terdapat banyak ayat-ayat dalam Al-Quran yang menjelaskan bahwa hukum ALLAH adalah hukum yang paling baik dan sempurna untuk memutuskan semua perkara. Tidak boleh seseorang berhukun dengan selain hukum ALLAH. Hal inni berkonsekuensi tidak boleh seseorang mengedepankan pendapatnya dan tidak boleh mengambil hukum selain hukum yang ALLAH tetapkan. Demikian pula tidak boleh mendahului Rasulullah, sebagaimana ALLAH Ta’ala jelaskan yang artinya, “Maka demi Tuhan mu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. An-Nisaa’:65)
            ALLAH Ta’ala juga berfirman yang artinya, “Apa yang diberikan Rasul kepada mu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada ALLAH. Sesungguhnya ALLAH amat keras hukumannya”. (QS. Al-Hasyr:7).
            “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila ALLAH dan Rasul-NYA telah menetapkan suatu ketetapan, aka nada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai ALLAH dan Rasul-NYA maka sungguhlah dia telah terseat dengan kesesatan yang nyata”. (QS. Al-Ahzab:36).
            “Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati ALLAH. Dan barangsiapa yang berpaling dari ketaatan itu, maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. (QS. An-Nisaa’: 80). Semoga sajian ringan ini bermanfaat dan dapat menjadi renungan bagi kita bersama. Wa shallallahu alaa Nabiyyina Muhammad.

Syirik Dan Jimat Menuai Petaka

            Hati seorang hamba harus bertawakal kepada ALLAH bukan pada sebab, apalagi sebab yang tidak terbukti manjurnya dari sisi dalil syar’I dan sisi ilmu pengetahuan. Inilah pentingnya kita mengetahui bahwa syirik karena di tengah-tengah masyarakat kita jimat, susuk, azimat, pellet, penglaris dagangan, benda-benda pemungkas lainnya dianggap hal biasa. Padahal di sisi ALLAH hal-hal tadi mengundang petaka.
            Dari Imran bin Hushoin, Nabi shallallahu alaihi wasallam melihat pada lengan seseorang suatu gelang. Lalu si pengguna tersebut menampakkanya pada beliau lantas ia berkata, “Ini dari tembaga yang bagus”. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun berkata, “celaka engkau, apa tujuan engkau mengenakan ini?ia menjawab, “Ini untuk melindungiku dari sakit wahinah suatu penyakit yang ada ditangan”. Beliau pun bersabda, “Jimat tersebut hanyalah menambah rasa sakit padamu. Lepaskanlah ia dari tanganmu. Karena jika engkau masih mengenakannya, engkau tidak akan beruntung selamanya”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).
            Hadis diatas menunjukan larangan mengenakan kalung untuk menolak bala. Seperti ini termasuk kesyirikan yang hanya mendatangkan petaka bukan keselamatan.
Beberapa faedah dari hadis diatas:
1.      Menggunakan gelang dan semacamnya yang tujuannya untuk melindungi diri dari penyakit termasuk syirik.
2.      Haramnya berobat dengan sesuatu yang haram, contohnya jimat.
3.      Wajib mengingkari kemungkaran dan mengajari orang yang tidak tahu
4.      Bahaya syirik di dunia dan akhirat, syirik hanyalah mengundang petaka bukan mendatangkan keselamatan dan kesembuhan.
5.      Seorang ahli fatwa sebaiknya menanyakan dulu rincian masalah dan maksud sebelum berfatwa sebagaimana yang Nabi Shallallahu alaihi wasallam
6.      Asalnya menggunakan jimat termasuk syirik ashgor (syirik kecil) selama tidak menyakini jimatlah yang member manfaat. Hadis di atas menunjukkan bahwa syirik ashgor masih lebih besar dari dosa besar karena sampai dikatakan tidak akan beruntung selamanya karena menggunakan jimat.
7.      Syirik tidaklah dimaafkan karena sebab jahil (tidak tahu)
8.      Wajib kita memperingatkan keras orang yang terjerumus dalam syirik supaya benar-benar perbuatan syirik itu dijauhi.